Jakarta (ANTARA) - Peneliti memperkirakan usia kendaraan listrik (EV) antara 18 sampai 20 tahun, sedangkan usia pakai baterai yang berkisar 3.000 sampai 5.000 kali pengisian daya, menurut peneliti senior 'International Council on Clean Transportation' (ICCT) Georg Bieker dalam video telekonferensi di Jakarta, Rabu.

"Kalau kami aplikasikan kedua data ini ke dalam capaian jangkauan jarak tempuh, pengguna EV dapat dengan mudah dibawa hingga 1 juta kilometer, ini sangat jauh," kata Bieker dalam acara 'Workshop Media: Course to Zero (Emissions)' di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Rabu.

Hasil studi ICCT menilai kendaraan listrik memiliki jangkauan tempuh lebih terbatas dibandingkan kendaraan berbasis mesin pembakar bahan bakar minyak (BBM) internal atau 'Internal Combustine Engine' (ICE).

Baca juga: Pengamat: Penyediaan fasilitas isi daya EV perlu dukungan produsen

Namun, usia pakai yang jauh lebih lama karena bagian-bagian komponen penggerak yang lebih sederhana dibandingkan kendaraan berbasis ICE yang memiliki komponen-komponen lebih rumit.

Kelebihan lainnya adalah daur ulang komponen-komponen penggerak kendaraan listrik juga dimungkinkan. Misalnya baterai, kalau didaur ulang maka kita bisa mendapat kembali nikelnya, kobalt, dan bahan-bahan baku yang dibutuhkan untuk membuat baterai.

"Jadi dapat menggunakan kembali material-material itu untuk pabrikan baru," kata Bieker yang diketahui berbicara di Jakarta dari Kota Berlin, Jerman lewat aplikasi Zoom.

Belum lagi menghitung risiko biaya pencemaran, seperti perawatan kesehatan pernapasan setelah menghirup gas buang dari kendaraan ICE. Itu sebabnya, EV disebut memiliki suatu siklus hidup yang lebih ramah lingkungan dibandingkan kendaraan ICE.

Baca juga: Keberalihan kendaraan EV harus ditunjang dengan fasilitas yang mumpuni

Elektrifikasi penuh armada kendaraan global ditambah jaringan listrik bebas energi fosil diperlukan untuk membatasi pemanasan global di bawah dua derajat Celsius.

Kendaraan listrik berbasis baterai (BEV) lebih direkomendasikan untuk mencapai target tersebut, dibandingkan jenis 'fuel-cell electric vehicle' (FCEV) atau hibrida, dan kendaraan hibrida yang memakai colokan isi daya ('plug-in hybrid').
​​​​​​
"Meskipun 'hybrid' dan 'plug-in hybrid' menawarkan efisiensi energi, tapi mereka tetap masih mengandalkan penggunaan (relying on use) energi fosil," kata Bieker.

Sementara itu Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi (Kemenkomarves) Rachmat Kaimuddin yang hadir dalam acara tersebut mengatakan pemerintah mendukung elektrifikasi pada sektor transportasi.

Itu karena konsumsi energi fosil menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca dan polusi udara.

"Konsumsi energi fosil yang masih tinggi pada sektor industri dan sektor transportasi. Keduanya memberi dampak terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca dan polusi udara," kata Rachmat.

Baca juga: Transportasi publik bertenaga listrik dinilai mampu kurangi macet dan polusi
Pewarta:
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2024