Larikan sepeda motor Anda ke ke kawasan Tapos, Kota Depok, Jawa Barat. Di sana Anda dapat melakukan aneka eksperimen dengan si motor kesayangan tanpa harus menjebol rekening bank.
Bagi Krist (28), sepeda motor adalah moda transportasi paling realistis dalam menyikapi kemacetan yang lazim di kota-kota besar. Ia memilih sepeda motor Yamaha berseri kalajengking alias Scorpio untuk bermanuver di jalanan Ibu Kota.
“Perjalanan saya dari rumah menuju kantor cukup jauh. Terkadang saya merasa bosan di perjalanan. Makanya saya berpikir untuk memodifikasi motor kesayangan agar ada sesuatu yang 'dilihat' saat berkendara. Bagi saya sepeda motor adalah bentuk aktualisasi diri sekaligus menjadi senjata untuk meningkatkan kepercayaan diri," kata Krist, Rabu (6/3).
Krist berseloroh bahwa ia merasa lebih "ganteng" saat mengendarai sepeda motornya. Pria berkacamata ini mengaku memulai hobi modifikasi sepeda motor secara tidak sengaja. Krist menyerahkan urusan modifikasi sepeda motornya kepada Wahyu Hidayat.
Wahyu sempat bergelut di bidang musik dan film selama empat belas tahun. Ketika tidak lagi aktif di dua ranah tersebut, ia mencari wadah baru untuk menyalurkan ekspresi seninya.
“Awalnya cuma merakit sepeda motor untuk konsumsi pribadi. Seiring waktu ada beberapa orang teman yang ingin memiliki sepeda motor kustom. Akhirnya saya mulai menekuni hobi ini secara serius,” kata Wahyu.
Merasa yakin dengan langkahnya, Wahyu lantas membangun bengkel modifikasi sepeda motor dengan nama Diwa Creative Studio (DCS) pada tahun 2011. Mengedepankan pemilihan konsep, gaya dan desain artwork, spesialiasi DCS adalah sepeda motor kulture style dan restorasi original.
Tidak bisa melepaskan kesenangannya terhadap musik, Wahyu pun berusaha mengelaborasi nilai-nilai musik di setiap desainnya.
“Penerapan filosofi musik itu misalnya dalam bentuk logo, inisial, atau nama personel band. Ada juga orang yang tidak mau visualiasi semacam itu. Misalnya pelanggan menyukai Robert Trujillo (pemain bass band Metallica) tetapi tidak ingin ada nama si pemain bass, maka kami membuat postur motornya kekar seperti sosok Trujillo,” ungkap Wahyu.
Melalui musik jugalah Wahyu menemukan metode tersendiri untuk memuaskan pelanggan.
“Banyak orang yang datang tetapi belum tahu mau memodifikasi sepeda motornya seperti apa. Pendekatan saya lewat obrolan tentang musik. Dari proses itu saya bisa mengetahui karakter si pemilik sepeda motor dan modifikasi macam apa yang ingin diterapkan,” jelasnya.
Tim DCS berisikan empat orang yang memiliki spesialisasi dalam desain, pengelasan, pengecatan, dan perakitan. Melalui usaha modifikasi ini, Wahyu dan DCS-nya dapat meraup untung Rp60-Rp80 juta per proyek pengerjaan.
Lantas, seperti apa strategi yang diterapkan DCS menyikapi tren sepeda motor pabrikan saat ini yang kembali menyasar era jadul dan kustom tracker?
“Usaha kami tidak terpengaruh secara signifikan dengan hadirnya tren tersebut. Justru para pecinta kustom biasanya merasa tidak puas dengan sepeda motor keluaran pabrik mau sejadul apapun itu, lalu berusaha memodifikasi sesuai karakter. Meski demikian DCS tetap membuka wawasan mengacu pada tren kustom di luar negeri dan selalu bereksperimen. Kreativitas bersifat tanpa batas.”
Tingkat kesulitan dan harga
Studio DCS terbiasa menyulap sepeda motor standard menjadi superkeren. Wahyu menjelaskan spesialisasi studionya adalah sepeda motor bermesin kecil.
Model sepeda motor kustom yang dibuat DCS beragam: dari standard keluaran pabrik, klasik, cafe racer, scrambler, tracker hingga flat tracker.
"Rata-rata memang sepeda motor keluaran Jepang dari 89cc hingga 250cc, tahun produksinya dari ’60-an sampai kekinian. Proses perakitannya relatif, sih. Biasanya untuk model standard kami siapkan waktu dua bulan dengan asumsi setiap bagian dibuat sendiri alias handmade. Bila mesti membuat sasis maka durasi perakitannya bervariasi.”
Modifikasi adalah sebuah seni. Tidak mudah untuk merakit sebuah sepeda motor apalagi bila harus mengubah rangka atau struktur pembentuk utama. Kesulitan lainnya menurut Wahyu adalah bila modifikasi yang melibatkan dua teknologi berbeda.
"Misalnya modifikasi sepeda motor dengan teknologi modern full sensor. Kami tidak boleh sembarangan menyambung atau meletakkan bagian demi bagian. Kalau salah tentu saja berakibat fatal. Selama ini modifikasi tersulit yang pernah dilakukan adalah Inazuma 250cc karena kami harus mencari persamaan di bagian kaki-kaki dan kelistrikan yang menerapkan teknologi tinggi.”
Ide yang out of the box adalah hukum pertama dalam dunia modifikasi otomotif. Pendeknya, Wahyu dan DCS-nya tidak hanya ingin menghasilkan sepeda motor modifikasi yang enak dipandang tetapi juga memiliki pesan filosofi mendalam dari setiap karya. Karena itu Wahyu mengaku tidak terlalu ngoyo alias memaksakan diri setiap kali melakukan modifikasi.
“Kami di DCS tidak ingin merakit sepeda motor yang kami sendiri ragu-ragu untuk membuatnya. Percuma kalau memaksakan hasilnya akan hambar. Misalnya motor model chopper, saya sendiri tidak dapat ‘rasa’ atau ‘jiwa’ untuk merakitnya. Di DCS porsinya 80 persen untuk kesenangan dalam modifikasi motor, sisanya 20 persen untuk bisnis untuk menafkahi tim,” katanya.
Wahyu menambahkan untuk biaya modifikasi standar dengan penggantian bagian-bagian tertentu berawal dari angka Rp15 juta. Sedangkan modifikasi yang membutuhkan komponen impor bisa mencapai Rp25 juta. Namun angka-angka tersebut bersifat sangat fleksibel karena pelanggan bisa menegosiasikan bentuk modifikasi tanpa harus merogoh kocek terlalu dalam. Bila mencapai kata sepakat, Wahyu dan timnya segera bergerak untuk memodifikasi sesuai keinginan.
Bagaimana, masih setia dengan tampilan lama motor Anda? Atau tertarik mengikuti jejak Krist?
Simak video berikut:
Baca juga: Bagian tersulit dalam modifikasi Royal Enfield Gibran Rakabuming
Baca juga: Terinspirasi modifikasi "chopper" Presiden, warga Surabaya malah kena tilang
Baca juga: Pemerintah dukung industri sepeda motor modifikasi
Baca juga: Sama-sama mejeng di IIMS, motor modifikasi Gibran tak kalah pamor dengan Jokowi
(Penulis: Peserta Susdape XIX/Adnan Nanda)
Pewarta: Peserta Susdape XIX/Adnan Nanda
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2019
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2019