Tokyo (ANTARA) - President & Executive Chief Engineer Toyota Daihatsu Engineering & Manufacturing Yoshinki Konishi mengungkap bahwa mobil listrik kebanyakan digunakan oleh konsumen bukan sebagai mobil utama, melainkan sekunder.

“Kami melihat, setelah berdiskusi dengan konsumen, mobil listrik mereka adalah mobil kedua atau ketiga, bukan mobil utamanya,” kata dia pada diskusi media di Tokyo, Jepang, baru-baru ini.

Yoshinki menyebut, mobil listrik digunakan sebagai kendaraan sekunder adalah situasi di negara Asia. Di mana mereka menginginkan mobil utama untuk mampu menempuh jarak jauh dan lintas kota.

Sedangkan mobil kedua atau ketiga, menurut Yoshinki, penggunaannya terbatas, dan digunakan tidak lebih sering seperti mobil utama.

Baca juga: Mejeng di JMS 2023, Toyota Rangga dapat dikustomisasi jadi “apapun"

Kebiasaan konsumen ini juga dikatakan Yoshinki umum terjadi di kota-kota besar negara Asia, di mana biaya listrik tidak begitu mahal, dan infrastruktur yang telah relatif memadai.

“Konsumen punya kalkulasi sendiri, dimana sebagai mobil kedua atau ketiga, mobil listrik adalah yang terbaik,” kata dia.

Masalah jarak tempuh mobil listrik yang masih kalah dengan mobil konvensional atau berbahan dasar minyak, ternyata tidak menjadi persoalan. Kembali lagi, mengingat kebanyakan dari konsumen menggunakannya sebagai mobil sekunder.

Sebagai mobil sekunder, mobil listrik sangat menguntungkan, mengingat biaya bensin yang semakin hari semakin tinggi.

“Kami juga bertanya pada konsumen, bagaimana dengan masalah jarak tempuh? Mereka tidak memiliki komplain,” jelas Yoshinki.

Meski begitu, bukan berarti mobil listrik tidak bisa digunakan sebagai mobil utama. Meski butuh waktu, mobil listrik tentu sangat menjanjikan dan akan mendominasi sebagai kendaraan utama di masa depan.

Yoshinki mengatakan, saat ini seluruh perusahaan otomotif dan para pemangku kepentingan tengah terus berupaya untuk menekan harga kendaraan listrik, utamanya pada komponen baterai yang masih menjadi komponen termahal dari kendaraan ramah lingkungan tersebut.

Lokalisasi suku cadang kendaraan listrik dan insentif berkelanjutan dari pemerintah setempat juga memegang peran besar, untuk persoalan biaya. Infrastruktur penyediaan stasiun pengisian daya mobil listrik juga perlu terus dibangun.

“Untuk menerima kendaraan listrik hingga merata ke penjuru negeri, tentu membutuhkan waktu yang lebih panjang, mengingat perihal infrastruktur, biaya baterai, biaya kendaraan dan lain-lain,” imbuh Yoshinki.

Untuk itu, Yoshinki menyebut, strategi multi-pathway dari Toyota dilakukan untuk menjamah lebih banyak konsumen kendaraan listrik, sehingga mencapai netralitas karbon di masa yang akan datang.

Dengan pendekatan multi-pathway, Toyota menyajikan beragam pilihan teknologi ramah lingkungan yang bisa diberikan oleh masyarakat Indonesia. Mulai hybrid EV (HEV), plug-in hybrid EV (PHEV), battery electric vehicle (BEV), dan fuell cell electric vehicle.

“Strategi multi-pathway memberikan banyak opsi kendaraan ramah lingkungan untuk mempercepat penggunaannya, sehingga semua orang dapat berkontribusi untuk karbon netral,” ujarnya.

Baca juga: Mobil konsep Toyota di JMS, dari model sport hingga untuk luar angkasa

Baca juga: Toyota FT-3e bisa digunakan "off-road" dan akan masuk Indonesia

Baca juga: Toyota lakukan studi untuk bangun pabrik baterai EV di Indonesia

Pewarta:
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2023