Jakarta (ANTARA) - Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk mobil baru berdasarkan emisi yang dihasilkan, rencananya diberlakukan mulai 16 Oktober ini, dengan pro kontra mulai bermunculan ketika pasar otomotif menggeliat dari hantaman pandemi COVID-19.

Pasar mobil baru domestik yang sedikit menggeliat berkat insentif diskon PPnBM dari pemerintah, dikhawatirkan akan melesu kembali ketika PPnBM emisi diberlakukan lantaran melemahnya lagi minat beli.

Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) misalnya, menilai bahwa skema itu bisa membuat konsumen kaget atas lonjakan harga yang terlampau besar. Asosiasi ini pun menyarankan PPnBM emisi diterapkan bertahap.

Terlebih jika ketentuan itu nanti membuat 29 model mobil baru, yang selama ini mendapatkan relaksasi PPnBM, harganya akan melonjak pada awal tahun 2022 lantaran terkena PPnBM emisi.

Sebagian pabrikan merespons rencana penerapan PPnBM emisi dengan santai, memilih mempelajari dulu dan mengetes ulang emisi sejumlah model kendaraannya untuk mengetahui apakah memungkinkan mendapatkan insentif atau tidak.

PPnBM berdasarkan emisi gas buang kendaraan ini bukan ketentuan yang tiba-tiba. Ketentuan itu telah disahkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2019, yang diundangkan pada 16 Oktober 2019, dan diputuskan berlaku dua tahun berikutnya, yakni 16 Oktober 2021.

Menurut ketentuan itu, PPnBM ditetapkan berdasarkan beberapa golongan jenis kendaraan dan emisi gas buang yang dihasilkan. Untuk kendaraan dengan konsumsi bahan bakar minyak lebih dari 15,5 kilometer per liter atau tingkat emisi CO2 kurang dari 150 gram per kilometer, misalnya, dikenakan pajak 15 persen.

Demikian juga dengan kendaraan mesin diesel dengan konsumsi bahan bakar minyak lebih dari 17,5 kilometer per liter dan emisi CO2 150 gram per kilometer.

Sementara PPnBM 20 persen dikenakan terhadap kendaraan dengan konsumsi bahan bakar 11,5 hingga 15,5 kilometer per liter, dengan tingkat emisi CO2 150 - 200 gram per kilometer.

Bagi kendaraan dengan tingkat emisi CO2 lebih dari 200 - 250 gram per kilometer dikenai 25 persen, dan 40 persen untuk kendaraan dengan emisi gas buang CO2 di atas 250 gram per kilometer.

Mobilitas bersih

Mobilitas bersih telah menjadi tren di berbagai belahan dunia saat ini, dan itu perlu juga segera diadopsi Indonesia dari sekarang, demi pembangunan berkelanjutan serta menjaga keseimbangan iklim dan pemanasan global.

Aturan PPnBM emisi tentu sejalan dengan keinginan Indonesia berperan dalam pengurangan CO2 dunia, juga dengan Grand Desain Energi yang telah disusun oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.

Berdasarkan skenario awal grand design energi perintah Indonesia, pada 2030 diproyeksikan terjadi penghematan devisa akibat pengurangan impor BBM setara 77 ribu barel minyak per hari (bopd) yang dapat menghemat devisa sekitar 1,8 miliar dolar dan menurunkan CO2 sebesar 11,1 juta ton CO2-e.

Bukan hanya di Indonesia, pajak kendaraan berbasiskan emisi gas buang telah diterapkan di banyak negara sejak lama. Perpajakan mobil penumpang berbasis CO2 sudah mapan di seluruh Uni Eropa. Sebanyak 24 negara anggota Uni Eropa saat ini memungut pajak mobil sebagian atau seluruhnya berdasarkan emisi CO2 dan/atau konsumsi bahan bakar kendaraan.

Semua itu bertujuan untuk mengurangi emisi gas buang CO2 yang bisa merusak lingkungan, selain juga untuk mendorong terciptanya mobilitas bersih. PPnBM emisi bisa menjadi jembatan sebelum menuju era mobil listrik yang belakangan semakin gencar dikembangkan di berbagai belahan dunia.

Pengurangan emisi CO2 tidak akan berhasil dengan optimal apabila tidak didukung dengan pengembangan mobil listrik dan kendaraan berbahan bakar alternatif yang ramah lingkungan, termasuk kendaraan hidrogen (fuel cell). Pengembangan mobil listrik dampaknya sangat besar karena alat transportasi tidak dapat dipisahkan dengan mobilitas manusia.

Untuk mencapai kondisi yang diinginkan dalam Grand Desain Strategi Energi, pemerintah Indonesia menargetkan pada 2030 sudah beroperasi 2 juta unit mobil listrik dan 13 juga unit sepeda motor listrik.

Para pelaku usaha juga sudah menyampaikan komitmennya terkait penyediaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai sebanyak 19 ribu unit kendaraan roda empat pada 2025 dan 750 ribu unit kendaraan roda dua. Dan, itu berpotensi menurunkan emisi gas rumah kaca sebanyak 283 ribu ton CO2-e.

Beberapa pabrikan otomotif dan baterai juga sudah menginvestasikan dananya untuk membangun pabrik baterai mobil di Indonesia dengan nilai puluhan triliun rupiah. Indonesia sebagai salah satu negara penghasil nikel terbesar cukup menarik bagi investor dalam pengembangan baterai mobil listrik.

Nikel yang selama ini banyak diekspor dalam bentuk bahan mentah, apabila diolah menjadi sel baterai nilai ekonominya bisa berlipat dan ini menjadi nilai tambah.

Dalam mendorong berkembangnya mobil listrik di dalam negeri, pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2021 yang berlaku pada 16 Oktober 2021. Melalui peraturan itu, pemerintah memberikan insentif bebas PPnBM bagi mobil listrik BEV (battery electric vehicle). 

Jadi, pemberlakuan PPnBM emisi sangatlah tepat bagi Indonesia sebagai "pemanasan" menuju era mobilitas bersih yang ditandai dengan terjadi pergeseran dari penggunaan mobil berbahan bakar fosil ke kendaraan listrik berbasis baterai yang menghasilkan nol emisi gas buang.

Baca juga: Pengamat: Pengenaan cukai lebih tepat dibandingkan pelonggaran PPnBM

Baca juga: Sambut insentif PPnBM, PLN beri diskon tarif isi daya mobil listrik

Baca juga: Pemerintah perpanjang PPnBM 100 persen demi pemulihan ekonomi
Pewarta:
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2021