Jakarta (ANTARA) - Training Director sekaligus Pendiri Jakarta Defensive Driving Consulting (JDDC) Jusri Pulubuhu mengungkap alasan mengapa jalur contraflow sangat berbahaya.

“Saya selalu menyarankan untuk tidak memilih jalur contraflow ketika masih punya opsi (jalur) yang lain,” kata dia saat dihubungi ANTARA, Senin.

Contraflow adalah suatu sistem rekayasa atau pengaturan lalu lintas (lalin) yang dilakukan dengan cara mengubah sebagian arah arus lalu lintas kendaraan di jalan yang sedang mengalami kemacetan. Rekayasa lalin ini umum diterapkan saat arus mudik maupun balik.

Baca juga: Polda Banten tidak gunakan skema "lawan arus" di tol Tangerang-Merak

Baca juga: Kemenhub imbau pemudik beristirahat bila lelah demi cegah kecelakaan


Pengendara atau pemudik tentu dengan senang hati menggunakan lajur tersebut, sebab memungkinkan mereka untuk melalui kemacetan yang sedang terjadi. Namun, banyak yang belum menyadari bahwa contraflow memiliki risiko kecelakaan yang lebih besar dari jalur normal.

Cara kerja contraflow, yakni menggunakan jalur lalu lintas yang mengalir pada arah yang berlawanan, disertai pembatas yang tidak permanen, misalnya dengan traffic cone (kerucut lalu lintas). Ini tentu sangat berisiko tabrakan dari arah berlawanan, jelas Jusri.

“Ini seakan jalur yang mematikan, di sisi kiri ada tembok, sementara sisi kanannya ada kendaraan lain dari arus berlawanan. Sering ditemui ketika lengah sedikit saja, sangat mungkin untuk keluar jalur masuk ke lajur lawan, hingga terjadi tabrakan beruntun karena distraksi motorik,” ujar Jusri.

Jusri menekankan kepada pengguna jalan untuk tidak menggunakan contraflow jika masih memungkinkan. Sangat tidak disarankan untuk menggunakan lajur tersebut bila kondisi fisik dan psikis sedang lelah atau tidak siap.

Tidak hanya pengemudi, Jusri mengatakan penumpang juga harus mempersiapkan diri sebaik mungkin saat hendak melalui contraflow, misalnya tidak sedang menahan buang air, hingga tidak mengganggu konsentrasi pemegang kemudi.

“Karena saat di contraflow tidak mungkin mobil berhenti untuk alasan dan keperluan buang air, istirahat, dan lain-lain, sebab tidak ada rest area atau jalur berhenti, harus jalan terus. Pengemudi juga wajib dalam kondisi prima, karena orang yang kelelahan atau mengantuk akan kehilangan banyak kemampuan motorik dan kognitifnya,” Jusri menjelaskan.

Baca juga: Menko PMK: 12 orang meninggal akibat kecelakaan di KM 58

Baca juga: Petugas ungkap mobil Grand Max yang hangus dalam kecelakaan di KM 58

Baca juga: Dampak kecelakaan Km 58, Jasa Marga buka Tol Japek II Selatan


 

Pewarta:
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2024