Jakarta (ANTARA) - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) berkomitmen dalam mengatasi perubahan iklim dengan berbagai regulasi yang mengatur mengenai pertumbuhan ekosistem kendaraan listrik berbasis baterai atau BEV di Indonesia.

"Secara perlahan kita akan menumbuhkan industri ke ekosistem mobil listrik. Dalam pengembangannya, industri otomotif dalam negeri memiliki peta jalan tahun 2030 akan ada mobil dan bus listrik sebanyak 60 ribu unit, sehingga angka tersebut dapat mengurangi konsumsi bahan bakar BBM sebesar 7,5 juta barel dan sekaligus menurunkan emisi CO2 sebanyak 2,76 juta ton," kata ujar Direktur Industri Logam Kemenperin Liliek Widodo saat membacakan pemaparan dari Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam sebuah diskusi daring bertajuk "Membangun Ekosistem Kendaraan Listrik di Indonesia" di Jakarta, Selasa.

Di dalam paparannya, Menperin Agus menjelaskan bahwa berbagai regulasi telah diterbitkan sebagai wujud nyata pemerintah dalam mendukung pertumbuhan dan pemakaian kendaraan listrik berbasis baterai. Saat ini industri otomotif yang ada terbilang cukup maju dengan hadirnya sebanyak 26 industri kendaraan bermotor roda empat atau lebih bernilai investasi Rp143 triliun dan kendaraan roda dua dan tiga sebanyak 62 perusahaan dengan nilai investasi Rp30,39 triliun.

Baca juga: Kemenperin: Subsidi dan kebijakan insentif tumbuhkan penjualan BEV

"Ini bisa menyerap tenaga kerja sampai 1,5 juta orang yang bekerja sepanjang rantai nilai industri mobil eksisting yang ada. Mobil-mobil sekarang yang masih menggunakan energi fosil, kita arahkan secara bertahap untuk bisa beralih ke industri baru terbarukan, termasuk baterai listrik yang berbahan baku nikel, kobalt, mangan dan sebagainya yang kaya di Indonesia," tutur Liliek.

Paparan dari Menperin Agus mengungkapkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki cadangan nikel besar yaitu 21 juta ton atau 30 persen dari cadangan dunia. Hal ini membuat negara memiliki potensi menjadi pemain strategis dalam industri baterai lithium di dunia. Apalagi diperkirakan hingga 2030, kebutuhan nikel untuk material baterai pada kendaraan listrik akan terus meningkat.

"Kalau dilihat pohon industri, kita sudah mampu mengolah nikel untuk 2 teknologi baik Pyrometallurgy dan Hydrometallurgy. Untuk Pyrometallurgy, kita menghasilkan stainless steel, HRC, dan produk-produk turunannya. Tetapi untuk Hydrometallurgy, kita berharap dapat mengolah bijih nikel menjadi Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) maupun MSP (Mixed Sulphide Precipate). Dari situ, kita olah menjadi nikel sulphate dan kobalt sulphate hingga turunan-turunannya, sehingga ekosistem baterai listrik bisa kita ciptakan di dalam negeri," terang Liliek.

Baca juga: Kemenperin: Emisi karbon mobil listrik tinggi karena proses baterai

Kemenperin kemudian menyampaikan bahwa sekarang ini untuk produksi MHP sudah ada sebanyak 4 industri peleburan atau smelter, dua di Sulawesi Tengah dan dua lagi di Maluku Utara. Keempat smelter itu sudah menghasilkan MHP sebanyak 1.8 juta ton per tahun dengan sebagian besar sudah diolah menjadi nikel sulphate.

"Untuk mengolah MHP 1.8 juta tadi diperlukan bahan baku Limonite yang disediakan oleh tambang sebesar 99.4 juta ton per tahun. Kita bisa olah lagi menjadi nickel sulphate 1,2 juta ton dan 162 ribu ton kobalt sulphate. Bila diolah lagi bisa menghasilkan 273 ribu ton nikel dan 34.200 ton kobalt," papar dia.

Kemenperin juga mendorong dan telah melakukan proyeksi terhadap kebutuhan nikel berdasarkan target kuantitatif di dalam Permenperin No. 6/2022. Berdasarkan studi kasus terhadap baterai kendaraan roda dua dan empat yang beredar di Indonesia, maka bisa diproyeksikan bahwa pada tahun 2025 kebutuhan nikel mencapai sebesar 25 ribu ton, sedangkan pada 2030 mencapai angka 37 ribu ton, dan pada tahun 2035 berada pada kisaran 59 ribu ton.

"Kebutuhan ini kalau dilihat bisa dicukupi dari pengolahan smelter dalam negeri sehingga kami dorong itu bisa diolah di dalam negeri, nanti sisanya bisa diekspor. Semua peraturan berusaha untuk mendorong bagaimana agar konsumen mobil listrik semakin banyak dengan berbagai insentif baik pengurangan pajak, kemudahan pembelian, dan sebagainya," kata Liliek. 

Di lain sisi, Kemenperin juga mendorong produsen mendapatkan insentif agar bisa berproduksi dan memenuhi kebutuhan di dalam negeri atau pun kebutuhan ekspor.

Baca juga: Kemenperin pertimbangkan beri tambahan insentif untuk mobil "hybrid"
Pewarta:
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2023