Jakarta (ANTARA) - Dalam memenuhi permintaan yang terus meningkat, BASF, sebuah perusahaan yang berspesialisasi dalam produksi bahan baterai, telah mengumumkan kemitraan dengan Nanotech Energy, sebuah perusahaan yang berspesialisasi dalam produk energi berbasis graphene.

Keduanya akan bekerja sama untuk memproduksi baterai lithium-ion dengan bahan daur ulang, yang melayani sebagian besar pasar Amerika Utara.

Dalam kerjasama ini, BSAF akan fokus pada produksi bahan aktif katoda dari logam daur ulang di fasilitasnya di Michigan. Sementara itu, Nanotech akan menggunakan bahan aktif tersebut untuk memproduksi sel baterai lithium-ion. Secara total, BASF berharap pengaturan ini akan mengurangi jejak karbon mereka hingga 25 persen.

Untuk memastikan efisiensi produksinya, kedua perusahaan juga akan bekerja sama dengan American Battery Technology Company (ABTC) dan TODA Advanced Materials Inc. dari Kanada.

Baca juga: Pengisi daya mobil listrik di China catat ekspansi stabil pada Agustus

Di sini, ABTC akan mendaur ulang bahan yang digunakan dalam produksi baterai Nanotech – seperti nikel, kobalt, mangan, dan litium.

Setelah didaur ulang, bahan-bahan tersebut akan diserahkan kepada TODA, yang kemudian akan menggunakannya untuk memproduksi prekursor baterai yang dibutuhkan BASF untuk produksinya. Seluruh pengaturan menciptakan sistem loop tertutup yang seluruhnya terdiri dari perusahaan-perusahaan Amerika Utara.

“Kemitraan kami dengan Nanotech, ABTC, dan TODA menandai langkah penting bagi bisnis daur ulang baterai global BASF. Sekarang, kami sedang membangun sistem loop tertutup pertama di Amerika Utara. Hal ini memungkinkan BASF dan Nanotech memproduksi baterai lithium-ion dengan konten daur ulang lokal,” kata wakil presiden logam dasar baterai dan daur ulang BASF, Daniel Schönfelder seperti yang disiarkan oleh The Verge, Jumat waktu setempat.

Sejalan dengan itu semua, pemerintah Amerika Serikat, telah banyak berinvestasi untuk produksi Baterai daur ulang yang memakan investasi sebesar 192 juta dolar AS atau setara dengan Rp2.9 triliun.

Pemerintah Biden secara agresif mendorong produksi baterai secara lokal melalui Departemen Energi sebelumnya dengan menginvestasikan pendanaan hingga 3,1 miliar dolar untuk pembuatan baterai tersebut.

Menurutnya, kehadiran kendaraan listrik sebagai kendaraan masa depan memang tidak lagi akan bisa terbendung dan akan menjadi lahan baru di industri otomotif masa depan.

Berbagai pabrikan otomotif dan non otomotif telah banyak berlomba-lomba dalam menghadirkan dan juga mengembangkan teknologi terbaiknya. Selain itu, insentif besar-besaran dari pemerintah di seluruh dunia berupaya untuk lebih mempercepat hal ini.

Dalam hal ini, eksistensi baterai litium bukanlah hal baru dan sudah banyak beredar di berbagai perangkat sehari-sehari masyarakat seperti laptop, ponsel cerdas, dan tablet sejak pertama kali ditemukan.

Meski demikian, permintaan baterai litium telah meroket berkat semakin populernya sepeda motor dan mobil listrik, yang menggunakan baterai beberapa kali lipat lebih besar dibandingkan baterai yang digunakan pada ponsel pintar.

Baca juga: China tidak puas atas penyelidikan antisubsidi EU untuk mobil listrik

Baca juga: Hyundai sematkan fitur pintar Bluelink pada Ioniq 5

Baca juga: Bridgestone siap layani kebutuhan ban EV jika dibutuhkan

Pewarta:
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2023