Surabaya (ANTARA News) - Pakar teknik mesin ITS Surabaya Prof Ir Herman Sasongko menilai mobil Esemka sesungguhnya merupakan bukti bahwa bangsa Indonesia sudah siap berdikari di segala lini, termasuk mobil.

"Masalahnya, para elit kita yang tidak mau hidup bersahaja dengan mandiri, namun mereka mementingkan citra diri dengan pesan mobil," kata mantan ketua jurusan teknik mesin FT itu kepada ANTARA News, di Surabaya, Senin.

Menurut pembina mobil "Sapu Angin" ITS itu, ada tiga pesan penting dari mobil Esemka itu yakni pejabat itu harus hidup bersahaja, pejabat itu harus berpihak pada potensi lokal, dan SMK merupakan solusi untuk mengantisipasi pengangguran intelektual.

"Keberpihakan pejabat pada potensi lokal itu jauh lebih penting dari sekadar memesan atau membeli mobil Esemka, karena keberpihakan itu akan lebih terwujud dalam bentuk kebijakan terhadap potensi lokal," katanya.

Oleh karena itu, kata Pembantu Rektor (PR) I ITS Surabaya itu, seorang pejabat akan terlalu naif bila hanya menyikapi keberadaan mobil Esemka itu dengan berlomba-lomba memesan mobil itu, tapi pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang mendukung mobil Esemka dan potensi lokal lainnya.

"Para elit kita perlu belajar dari Malaysia dan Jerman, bagaimana pejabat Malaysia memihak potensi lokal dengan mengeluarkan mobil Proton dengan sebagian kecil komponen memang masih impor, sedangkan pejabat Jerman memilih untuk memajukan pendidikan vokasi (SMK)," katanya.

Terkait hal itu, ia mendukung sikap Mendikbud yang berihtiar untuk menggandakan politeknik menjadi 150 unit dalam beberapa tahun ke depan guna mendukung perkembangan SMK yang akan menjadi andalan dalam dunia pendidikan ke depan.

"Tapi, hal itu harus diikuti dengan sikap Menteri Perindustrian/ Perdagangan untuk mengeluarkan serangkaian kebijakan dan regulasi yang memihak pada potensi lokal, baik melalui industri skala khusus maupun industri berpola asuh antara industri besar dan kecil," katanya.

Hal itu penting, katanya, karena mobil Esemka itu tidak mungkin berkembang dalam skala industri yang serba otomatis, sebab pelajar SMK hanya mampu membuat satu unit mobil Esemka dalam tiga bulan, sedangkan industri mampu membuat satu unit mobil dalam delapan menit saja.

"Karena itu, keberpihakan pemerintah kepada potensi lokal yang diawali dengan mobil Esemka itu jauh lebih penting daripada ramai-ramai memesan mobil Esemka. Itu hanya kepeduliaan sesaat dan naif, bahkan pemerintah bisa melakukan spesifikasi SMK untuk mendukung industri tertentu," katanya.

Nantinya, katanya, seperti di China, akan ada alumni SMK yang bergerak dalam bidang cat, baut, dan sejenisnya. "Yang jelas, keberpihakan pemerintah itu penting, karena pelajar SMK atau mahasiswa teknik sekalipun pasti akan terkendala izin prinsipil," katanya.

Apalagi, katanya, potensi lokal dalam skala kecil dipastikan akan kalah bila berhadapan dengan produk impor. "Kalau pemerintah hanya mementingkan impor, maka kita akan menjadi bangsa konsumen dan berada di bawah bangsa-bangsa lain untuk selamanya," katanya.

Ia menambahkan ITS siap mendukung kebijakan pemerintah untuk berdikari. "Kalau pelajar SMK memiliki skill untuk membuat atau memproduksi, maka mahasiswa ITS akan mendukung dengan skill untuk merakit, mendesain, atau melakukan riset, seperti mesin Paidjo yang kami rancang," katanya.

Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2012