Jakarta (ANTARA News) - Apa yang muncul di benak Anda ketika pertama kali mendengar sebuah jenama yang berasal dari China? Maka akan muncul stigma kualitas barang yang meragukan.

Stigma produk China perlahan tapi pasti terkikis, terutama di sektor gawai yang memunculkan nama Xiao Mi dan Huawei untuk jenama lokal sana yang mendunia, maupun pilihan Apple merakit produk mereka di Negeri Panda.

Meski demikian, stigma masih tersisa kuat di sektor otomotif baik itu sepeda motor maupun mobil. Tentu saja tak adil membandingkan sektor otomotif dengan sektor gawai yang harganya mungkin bahkan tak mencapai 10 persen dari harga mobil atau tak separuh harga sepeda motor.

Stigma buruk itu masih membekas lantaran pada pengujung 1990-an hingga awal 2000-an, sejumlah sepeda motor merek China sempat menjajal pasar Indonesia hanya untuk tiba-tiba menghilang begitu saja, seperti yang dilakukan Jialing dan kawan-kawan.

Stigma yang tersisa menjadi salah satu tantangan terbesar bagi SGMW Automobile, sebuah perusahaan patungan antara BUMN China SAIC Motor Corporation Limited, General Motors dan Liuzhou Wuling Automobile Industry, yang masuk ke Indonesia sebagai PT SGMW Motor Indonesia (Wuling Motors) dan mengusung jenama dagang mobil Wuling.

Hadir perdana lewat Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2016 hanya dengan memamerkan unit-unit contoh yang masih melekatkan roda kemudi di sisi kiri, Wuling Motors menegaskan ambisi besar mereka untuk betul-betul terjun di Indonesia.

Ambisi itu bermula dari peletakan batu pertama pabrik mereka di Kawasan Greenland International Industrial Center (GIIC) Cikarang, Bekasi, 20 Agustus 2015, pabrik yang hampir dua tahun kemudian diresmikan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Pabrik tersebut memiliki kapasitas produksi 120.000 unit per tahun, di antaranya memproduksi dua model yang mereka hadirkan sebagai produk debut di Indonesia yakni Wuling Confero dan Wuling Confero S, yang bersaing di segmen Low MPV, segmen dengan ceruk terbesar di pasar otomotif Indonesia.

Namun demikian apakah langkah besar Wuling merogoh kocek hingga Rp9 triliun untuk berinvestasi mendirikan pabrik di Indonesia serta merta menjadi peluruh stigma produk China yang mau tidak mau melekat juga kepada mereka? Patut diikuti perjalanan mahal Wuling di Indonesia.


Investasi jadi bukti

Brand & Marketing Director Wuling Motors, Jason Ding, mengaku pihaknya menyadari keberadaan stigma produk China yang menjadi tantangan mereka, namun ketimbang melakukan hal-hal khusus untuk menanggulangi hal tersebut, Ding menilai langkah mereka berinvestasi di Indonesia sejak dua tahun lalu sudah menjadi jawaban tersendiri.

"Yang jelas kami berusaha memperlihatkan dan meyakinkan bahwa kami ada di sini untuk jangka panjang, bukan datang dan pergi sesuka hati," kata Ding saat ditemui di sela-sela uji kendara Wuling Confero S di Bali, 11-13 Oktober 2017.

Ding juga menjelaskan bagaimana Wuling Motors melihat Indonesia tidak hanya sebagai sebuah pasar otomotif potensial, melainkan lokasi yang tepat untuk mengelola bisnis otomotif, termasuk melakukan kegiatan produksi dan menjadikannya sentra produksi untuk wilayah regional Asia Tenggara.

"Anda bisa lihat dari apa yang kami lakukan di sini sejak dua tahun lalu. Apa yang kami mulai dan lakukan untuk jangka panjang. Kami juga menempatkan Indonesia sebagai lokasi produksi, bukan cuma untuk memasok pasar Indonesia, tetapi seluruh Asia Tenggara," ujarnya.

Ding maupun Wuling Motors sejauh ini belum mengungkapkan berapa lama waktu yang mereka targetkan untuk membuat Indonesia betul-betul menjadi sentra produksi wilayah Asia Tenggara, yang tentunya akan dimulai dengan momentum ekspor perdana entah kapan.

"Anda bisa lihat bagaimana kami berinvestasi di sini, produksi di sini, membangun jejaring pemasok suku cadang, jaringan penjualan dan purnajual yang kami bangun, itu semua memperlihatkan kami ada di sini untuk jangka panjang," tegas Ding.

"Apa yang bisa kami lakukan hanyalah memperlihatkan rekam jejak kami dan melakukan yang terbaik," ujarnya lagi, saat ditanya apakah semua itu bisa serta merta mengubah pandangan masyarakat Indonesia terhadap jenama otomotif China, khususnya Wuling.

Ding juga menegaskan kembali pihaknya tak melakukan strategi yang khusus untuk pasar Indonesia ataupun untuk menghapus stigma buruk produk China.

Bagi Ding, jika pihaknya secara konsisten dan konstan melakukan langkah-langkah yang selama ini sudah mereka lakukan, hal itu sudah menjadi strategi tersendiri.


Jaringan dan purnajual

Confero dan Confero S memang menjadi mata pisau Wuling Motors membelah pasar otomotif Indonesia, namun ujung tombak mereka terletak pada jaringan penjualan serta layanan purnajual yang harus diprogramkan dan diramu sedemikian rupa untuk menghadirkan kepercayaan dari pelanggan maupun calon pelanggan.

Wuling Motors menargetkan mereka bisa mengoperasikan 50 titik jaringan penjualan, yang sudah meliputi trilayanan alias 3S (penjualan, perawatan dan suku cadang), di seluruh Indonesia hingga akhir 2017 dan menurut Direktur Purnajual Wuling Motors, Taufik S. Arief, hingga 11 Oktober 2017 lalu sudah 40 diler di antaranya telah beroperasi penuh.

Diler trilayanan tersebut diharuskan sudah memenuhi standard pelayanan yang ditetapkan Wuling Motors, termasuk upaya untuk menghadirkan suasana selaiknya diler-diler jenama otomotif lain yang sudah mapan dan mumpuni di Indonesia seperti Toyota, Daihatsu dan Honda.

"Itu jadi strategi kami, maunya ambience seperti established brand, tapi cost-nya tetap paling kompetitif," kata Taufik yang juga mengklaim bahwa ongkos perawatan purnajual mereka paling kompetitif, berbekalkan harga suku cadang yang lebih murah 20 persen dibandingkan para pesaingnya di segmen Low MPV.

Wuling Motors tentu saja tidak serta merta mengklaim harga suku cadang mereka lebih murah 20 persen. Sebuah survei internal yang membandingkan harga suku cadang Confero dan Confero S dengan harga suku cadang mobil-mobil Low MPV pesaing di Indonesia pada Kuartal I-2017, ditemukanlah angka tersebut.

Taufik mengakui harga suku cadang di seluruh merek cenderung dinamis dan bisa berubah-ubah hampir setiap bulan, bergantung dengan proses manufaktur, namun meski demikian ia berani mengklaim suku cadang mereka 20 persen lebih murah dari rata-rata harga suku cadang pesaing.

Berbekal angka 20 persen lebih murah tersebut, Taufik meyakini Wuling bisa membekas di ingatan calon pelanggan sekaligus menaikkan daya saing mereka di pasar otomotif Indonesia secara perlahan tapi pasti.

"Karena kami berpikir bahwa mungkin 20 persen itu sudah melewati psychology effect ke konsumen kalau kita itu murah. Kalau 10 persen di bawah ya mungkin itu belum terasa sebagai sesuatu yang kompetitif, karena 10 persen saja kira-kira PPN segitu kan," ujarnya.

Selain dengan harga 20 persen lebih murah, Wuling juga menggratiskan penggantian suku cadang selama satu tahun atau 20.000 kilometer. Mereka menawarkan jaminan sepanjang tiga tahun atau 100.000 kilometer dengan jaminan eksklusif untuk komponen-komponen utama mesin dan transmisi selama lima tahun atau 100.000 kilometer.

Durasi jaminan yang panjang, menurut After Sales Technical Wuling Motors, Vanda Dritanto, menjadi cerminan dari keyakinan Wuling akan produk yang mereka pasarkan di Indonesia atau dalam kata lain bantahan terhadap stigma buruk yang melekat kepada produk China.

"Kalau kami tidak yakin dengan durability-nya, masa kita kasih segitu," kata Vanda pendek.

Sebagai catatan jaminan produk tersebut bahkan lebih panjang dibandingkan di negeri asalnya, terutama untuk masa jaminan umum yang berlangsung selama tiga tahun di Indonesia dan hanya dua tahun di China.


Jebakan transmisi otomatis dan portofolio produk

Selain stigma buruk produk China yang lebih berada pada area perspektif, satu tantangan lain yang belakangan menjadi nyata bagi Wuling adalah ketiadaan transmisi otomatis pada produk debut mereka di Indonesia, Confero dan Confero S.

Hal itu berpotensi membuat Wuling mengalami nasib serupa Datsun GO+ --yang sempat merajai LCGC tujuh penumpang, namun tergerus habis ketika Toyota Calya dan Daihatsu Sigra hadir bersama transmisi otomatis--, jika mereka ikut-ikutan keras kepala dalam urusan tidak menjawab kebutuhan transmisi otomatis dari para pelanggannya.

Pihak Wuling memang tak menjawab bagaimana potensi nasib buruk itu juga menimpa mereka, Brand Manager Wuling Motors Dian Asmahani memastikan pihaknya sudah menyiapkan varian bertransmisi otomatis untuk produk mereka yang berikutnya.

Hal itu tidak lain karena Confero dan Confero S yang di negeri asalnya bernama Hong Guang S1 memang tidak memiliki platform untuk mengadopsi transmisi otomatis.

Meski tanpa transmisi otomatis, Wuling berhasil membukukan penjualan wholesale 2.212 unit selama Juli-September 2017, meski mereka baru resmi mengumumkan harga mereka pada 2 Agustus 2017.

Bahkan jika dirunut, Confero dan Confero S berhasil menumbangkan Mitsubishi Xpander pada penjualan bulan September 2017, meski pesaingnya punya modal besar sebagai jenama Jepang serta sudah puluhan tahun berkiprah di Indonesia.

Pada September 2017, data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor (Gaikindo) memperlihat Confero dan Confero S mencatatkan penjualan wholesale 1.391 unit dibandingkan Xpander 1.096 unit, padahal secara linimasa sejak pendirian pabrik, peresmian pabrik hingga penjualan kurang lebih bersamaan.

Angka tersebut boleh jadi menjadi modal besar bagi Wuling Motors untuk menghadirkan produk-produk baru yang disebut oleh Presiden Wuling Motors, Xu Feiyun, pada pengumuman harga Confero dan Confero S yang disiapkan hadir tiga model lagi untuk 2018.

Salah satu model baru bakal dihadirkan pada Kuartal I-2018, yakni model yang disebut-sebut Dian bakal dilengkapi pilihan transmisi otomatis.

Belum terang apa produk yang akan dihadirkan pada Kuartal I-2018 tersebut, bisa saja Confero dan Confero S bermesin 1.2L atau Baojun 730 yang bermesin 1.8L.

Apapun itu, selanjutnya hanya waktu yang bisa membuktikan keampuhan ramuan mereka meruntuhkan stigma buruk produk China, atau setidaknya merengkuh citra positif untuk persepsi produk terhadap jenama yang menggunakan logo lima berlian berbentuk huruf W atau sayap tersebut.
Oleh
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2017