Jakarta (ANTARA) - Tingkat adopsi kendaraan listrik terkadang berfluktuasi secara liar. Yang tidak terlalu banyak bergerak adalah loyalitas setelah seseorang memiliki kendaraan listrik (Electric Vehicle/EV).
Menurut sebuah studi baru, 92 persen responden mengatakan bahwa mereka tidak akan pernah kembali ke mobil konvensional atau bermesin pembakaran internal (Internal Combustion Engine/ICE), lapor Carscoops, Sabtu (14/12).
Faktanya, dari semua pilihan yang tersedia, hanya satu persen dari populasi penelitian yang mengatakan bahwa mereka pasti akan kembali ke platform khusus ICE.
Adapun 7 persen sisanya, 4 persen mengindikasikan bahwa mereka akan memilih plug-in hybrid (PHEV), dan sisanya tidak yakin.
Baca juga: Studi: Gen Z pertimbangkan PHEV untuk mobil masa depan mereka
Perlu dicatat bahwa survei ini berasal dari Global EV Alliance, yang seperti namanya, bisa jadi bias dalam hal kendaraan listrik.
“Kami percaya bahwa mobilitas tanpa emisi diperlukan untuk memerangi perubahan iklim. Tujuan kami adalah planet di mana semua transportasi berkelanjutan, bersih, dan bertenaga listrik,” ujar pernyataan Global EV Alliance.
Di sisi lain, studi itu tampak cukup transparan. Studi ini mencakup tanggapan yang berasal lebih dari 23.000 pengemudi kendaraan listrik di 18 negara termasuk Amerika Serikat, Kanada, Austria, Brazil, Prancis, dan India.
Baca juga: Studi temukan harga baterai EV 90% lebih murah dibanding 15 tahun lalu
Selain itu, studi ini juga menimbang hasil berdasarkan pangsa masing-masing negara terhadap total armada kendaraan listrik di seluruh dunia.
Ini berarti bahwa hasil dari Amerika Serikat mendapatkan bobot lebih tinggi daripada Swedia. Hal ini penting karena di beberapa negara kecil seperti Swedia, tingkat adopsi kendaraan listrik sangat tinggi.
Dengan menimbang hasilnya, kita akan mendapatkan gambaran yang lebih akurat tentang realitas yang dialami oleh para pemilik mobil listrik.
Baca juga: Studi ICCT : HEV masih belum efisien dalam menjaga lingkungan
Menurut hampir semua responden, mobil listrik adalah satu-satunya yang akan mereka beli mulai saat ini dan bukan hanya karena masalah iklim.
Sebaliknya, hampir setengah dari responden (45 persen) mendukung biaya operasional mobil listrik yang rendah jika dibandingkan dengan mobil bertenaga bensin atau diesel.
Keramahan terhadap iklim menjadi daya tarik terbesar kedua (40 persen), diikuti dengan membantu lingkungan setempat (32 persen), kemampuan berkendara yang baik (21 persen), dan biaya perawatan yang lebih rendah (18 persen).
Singkatnya, mobil ini lebih murah untuk dimiliki, lebih mudah dikendarai, dan tidak akan membuat dompet menangis setiap kali berhenti di stasiun pengisian daya.
Baca juga: Studi: 46 persen pembeli EV di AS ingin kembali ke ICE
Inilah bagian di mana hubungan cinta itu tersandung: infrastruktur pengisian daya. Atau, lebih khusus lagi, ketiadaannya.
Penelitian ini mengungkapkan bahwa kelemahan terbesar dalam mengendarai mobil listrik adalah ketersediaan, atau seringnya tidak tersedianya pengisi daya cepat. Hal ini menjelaskan mengapa Tesla, dengan jaringan Supercharger yang luas, terus mendominasi di antara para pembeli.
“Ketika ditanya tentang kerugian mengendarai mobil listrik, hasilnya menunjukkan bahwa kekurangan yang paling signifikan adalah terbatasnya ketersediaan pengisi daya cepat, sifat pengisian daya yang memakan waktu, dan seringnya waktu henti pada stasiun pengisian daya cepat,” kata studi tersebut.
Tentu saja, ini adalah masalah utama di AS dan banyak negara lainnya.
Baca juga: Studi: Indonesia negara yang condong dukung kehadiran mobil listrik
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2024