Bali (ANTARA) - Singapura dan Thailand mengakui bahwa Indonesia memegang peran penting pada industri dan ekosistem kendaraan listrik (electric vehicle/EV) di dunia, khususnya kawasan Asia Tenggara.

Hal itu rupanya karena produksi nikel melimpah yang dimiliki alam Indonesia. Komoditas ini merupakan bahan baku penting dalam pembuatan baterai pada industri EV, yang industrinya tengah tumbuh secara eksponensial.

Kedua negara melalui lembaga konsorsium baterai di Singapura, Singapore Battery Consortium (SBC), dan Asosisasi teknologi dan penyimpanan energi Thailand, Thailand Energy Storage Technology Assosiation (TESTA), menyatakan hal tersebut pada pertemuan “ASEAN Battery and Electric Vehicle Technology Conference” di Nusa Dua, Bali, Kamis (11/5).

“Saya sangat menghormati dan kagum akan apa yang Indonesia miliki, Indonesia memainkan peran besar, karena banyak dari bahan baku utama untuk membuat baterai EV ada di Indonesia, selain pasar yang sangat besar, melihat jumlah populasinya,” ujar Direktur SBC, Davy Cheong, kepada ANTARA, Kamis.

Senada dengan Cheong, Presiden TESTA, Pimpa Limthongkul, menyebut membutuhkan kolaborasi dengan RI perihal bahan baku utama baterai kendaraan listrik tersebut.

Baca juga: Konferensi teknologi baterai EV pertama di ASEAN digelar di Bali

Pada pertemuan mengenai teknologi baterai EV yang pertama kalinya diadakan pada skala kawasan ASEAN itu, Indonesia telah meneken kontrak kerja sama untuk riset dan pengembangan teknologi baterai EV dengan empat negara yakni, Singapura, Thailand, Malaysia, dan Filipina.

“Kami mengharapkan persahabatan dan kolaborasi, untuk bahan baku (baterai EV) Indonesia memiliki seluruhnya, kecuali litium, untuk Thailand kami tidak memiliki apa pun untuk bahan baku saat ini,” kata Limthongkul.

“Saya rasa yang paling penting bagi Indonesia adalah untuk tetap terbuka terhadap kerja sama dan kolaborasi, hal ini dapat menguatkan kelebihan masing-masing negara, agar mampu bersaing dengan ekosistem EV Eropa dan China,” imbuh Cheong.

Dalam kolaborasi itu, selain melakukan riset, tiap negara memiliki peran masing-masing, di mana menurut Cheong, Singapura berperan dalam penelitian juga pengembangan kerangka kerja dan platform teknologi baterai EV.

Sementara Limthongkul, menawarkan keunggulan Thailand dalam teknologi produksi dan Original Equipment Manufakturer (OEM), merancang dan memproduksi produk komponen ataupun barang jadi.

“Dalam hal manufaktur OEM dan bagian produksi serta pemrosesan kimia kami memiliki beberapa bahan baku dari kilang, bahan yang sudah diproses, misalnya mengolah petrokimia menjadi produk yang berharga,” jelas Limthongkul.

Baca juga: RI dan empat negara teken kontrak kembangkan teknologi baterai EV

Adapun kerja sama yang tertuang dalam sebuah nota kesepakatan antar empat negara tersebut, memiliki tujuan utama untuk menciptakan standar dan ekosistem EV yang terintegrasi di kawasan ASEAN.

Menurut laporan Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS), produksi nikel di dunia diperkirakan mencapai 3,3 juta metrik ton pada 2022.

Dalam laporan tersebut, Indonesia adalah produsen nikel terbesar di dunia. Total produksinya diperkirakan mencapai 1,6 juta metrik ton atau menyumbang 48,48 persen dari total produksi nikel global sepanjang tahun lalu.

Selain unggul sebagai produsen, Indonesia tercatat sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia pada 2022 yakni mencapai 21 juta metrik ton.

“Saya rasa akan banyak perusahaan-perusahaan produsen EV dan baterai raksasa akan dijalankan di Indonesia, karena setiap industri manufaktur harus berlokasi dekat dari sumber bahan baku, Indonesia akan memegang peran penting,” kata Cheong.

Baca juga: Miliki cadangan nikel terbesar dunia jadi potensi pasar EV Indonesia

Pewarta:
Editor: Siti Zulaikha
Copyright © ANTARA 2023