Hasil penjualan paten tersebut menghasilkan dana awal sebesar 100 ribu pound sterling atau sekitar Rp1,9 miliar (jika dikonversi dengan kurs saat ini) sebagai modal untuk mendanai proyek yang ia sukai, yakni manufaktur mobil.
Tekad untuk mendiversifikasi bisnis pembuatan alat tenun keluarga Toyoda bertepatan dengan rencana pemerintah Jepang untuk mengembangkan industri otomotif dalam negeri. Kiichiro pun mendirikan divisi otomotif di Toyoda Automatic Loom Works pada tahun 1933.
Baca juga: Toyota FT-3e bisa digunakan "off-road" dan akan masuk Indonesia
Memberedel Chevrolet dan Ford
Sebagian modal yang Kiichiro dapat dari menjual paten dari usaha tenun sebelumnya itu ia gunakan dengan membeli langsung mobil buatan pabrikan Amerika, dan memboyongnya ke bengkel di Jepang untuk diberedel dan dipelajari.
Orang-orang Jepang pada saat itu meragukan ambisi Kiichiro dalam merintis perusahaan otomotifnya, "Apa kah kita bisa membuat mobil di Jepang?"
"Tidakkah kalian ingin mengucapkan selamat kepada masa depan industri otomotif yang sedang berkembang?" Kiichiro menjawab.
Baca juga: Toyota lakukan studi untuk bangun pabrik baterai EV di Indonesia
Kiichiro pun tetap teguh pada pendiriannya. Tugas pertama tim adalah menciptakan mesin baru berdasarkan mesin 6-inline Chevrolet Stovebolt dari mobil yang ia beli. Saat menganalisa mesin ini, dan setelah beribu kali menemukan jalan buntu, tim Toyoda mampu melakukan perbaikan pada kepala silinder dan intake manifold, yang pada gilirannya berhasil menghasilkan tenaga lebih besar pada produk ciptaannya sendiri.
Baca juga: Toyota pamerkan mobil sport EV pertama dari lini GR di JMS 2023
Baca juga: Toyota luncurkan mobil listrik Lexus berjangkauan 1.000 km pada 2026
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2023