Jakarta (ANTARA) - Indonesia memiliki cadangan nikel sebanyak 23,7 persen pertama dan terbesar di dunia sehingga kondisi tersebut menjadikan negara ini mempunyai posisi tawar dalam pasar dan sangat berpotensi untuk bisa menjadi pemain utama dalam industri kendaraan listrik atau electric vehicle (EV).

Baca juga: INAPA 2023 jadi ajang perkuat posisi Indonesia di pasar otomotif dunia

"Kita punya 239 perusahaan tambang nikel di Indonesia yang mengantongi izin usaha operasi produksi dan dari situ ada cadangan sebanyak 4,56 miliar metrik ton nikel. Smelter di Indonesia juga membutuhkan sebesar 337,7 juta metrik ton sampai 2026," kata Ketua Bidang Humas Eropa & Rusia Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) Olfriady Letunggamu di Jakarta, Rabu.

Olfriady yang akrab disapa Osco mengatakan bahwa cadangan nikel Indonesia mengalahkan Australia dengan besaran sebanyak 21,5%, lalu Brasil sebesar 12,4%, kemudian Rusia dengan 8,6 persen, Kuba sebanyak 6,2 persen, dan Philipina pada angka 5,4 persen.

Nikel berkadar tinggi di atas 1,7 persen, kata Osco, dalam 6 tahun ke depan mungkin akan semakin sulit ditemukan. Sedangkan untuk nikel dengan berkadar rendah, Indonesia masih memiliki cadangan hingga 80 tahun mendatang.

Menurutnya, ekosistem EV telah menjelma menjadi pasar yang sangat besar dan potensial untuk berkembang di negeri sendiri. Cadangan nikel yang dapat dikembangkan membuat industrialisasi EV tak hanya berpotensi besar di sisi hilir melainkan juga di hulu.

Baca juga: Adira yakin pembiayaan EV di 2023 bisa tembus Rp100 miliar

"Kami penambang berada di sektor hulu. Orang tahu bahwa nikel adalah material baterai mobil listrik. Padahal tidak cuma di baterai karena kandungan nikel juga ada di dalam stainless steel yang dipakai di beberapa komponen mobil listrik," imbuhnya.

Osco menambahkan bahwa APNI juga menginginkan semua perangkat industri berasal dari energi hijau, bukan dari pembakaran bahan bakar fosil. Sudah saatnya Indonesia, kata Osco, mendukung kesuksesan penggunaan bahan bakar yang tidak ramah lingkungan menjadi ramah lingkungan.

Ekosistem EV, lanjutnya, merupakan sebuah solusi meski tak dapat dimungkiri bahwa Pemerintah juga memiliki peranan penting untuk memajukan energi yang disuplai ke baterai agar tetap bersifat ramah lingkungan.

"Energi yang sedang dikampanyekan adalah green yang sudah pasti clean, sedangkan clean belum tentu green. Ini harus dimengerti sehingga ekosistem EV benar-benar menjadi zero net emission dan hasil energi hijau menjadi nilai tambah bagi populasi dunia, bukan hanya secara bisnis," tutup Osco.


Baca juga: Sejumlah upaya ini dilakukan Pertamina ikuti pesatnya perkembangan EV

Baca juga: Menperin tanggapi kritikan soal subsidi kendaraan listrik
Pewarta:
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2023