Jakarta (ANTARA News) - Indonesia memerlukan industri pendukung "Independent Power Producer" (IPP) yang mampu menghasilkan komponen untuk pembangkit listrik berskala 300 hingga 800 MegaWatt (MW). "Kita perlu meningkatkan kemampuan industri tanah air untuk menyuplai komponen untuk IPP di atas 10 MegaWatt. Tapi untuk yang di bawah 10 MegaWatt ya kita sudah banyak," kata Deputi Direktur IPP PT PLN Persero, Nasri Sebayang, di Jakarta, Kamis. Menurut Nasri Sebayang, Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) untuk komponen IPP skala kecil antara enam hingga 10 MW di Indonesia sudah cukup besar, bahkan hingga mencapai 70 persen. Namun demikian, dia mengatakan, IPP dengan kapasitas di atas 300 MW masih harus didatangkan komponen dari luar negeri. Dari usulan yang diberikan Masyarakat Kelistrikan Indonesia (MKI) untuk konsep Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral tentang Penggunaan Produksi Dalam Negeri untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara disebutkan bahwa untuk IPP dengan kapasitas di bawah delapan MW tingkat TKDN harus 70 persen, dan untuk IPP di atas delapan hingga 25 MW tingkat TKDN harus 50 persen. Sementara itu, untuk IPP berkapasitas 25 hingga 100 MW tingkat TKDN harus mencapai 45 persen, dan untuk IPP di atas 100 MW harus mencapai 40 persen. Menurut Wakil Ketua Bidang Bisnis Investasi MKI, Bakti Luddin, masalah yang dihadapi oleh IPP yang telah menandatangani `Power Purchase Agreement` (PPA) saat ini adalah melonjaknya harga peralatan PLTU barubara serta biaya EPC kontrak mencapai 30 hingga 40 persen akibat naiknya harga minyak mentah dunia. Selain itu, dia mengatakan, kenaikan pajak ekspor dari pemerintah China dari tujuh persen menjadi 15 persen serta melemahnya nilai tukar AS dolar terhadap valuta asing lainnya menjadi masalah lain bagi IPP. Data terakhir PLN memperlihatkan 12 IPP dengan kapasitas total 920 MW masuk dalam tahap finalisasi PPA, yang berarti belum terkontrak tetapi harga sudah disepakati. Sementara dari tahap finalisasi hingga ke tahap kontrak memakan waktu 150 hari atau lima bulan. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008