Jakarta (ANTARA News) - Hasil audit investigasi yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap kasus dana talangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebesar Rp6,7 triliun ke Bank Century bagaikan banteng liar yang terlepas dan bisa menyeruduk beberapa pihak yang terlibat dalam kasus itu.

Dalam hasil audit yang telah diberikan kepada DPR 23 Nopember itu setidaknya BPK mengungkap semua pihak yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan bailout itu, Bank Indonesia, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Menkeu, dan LPS melakukan sejumlah pelanggaran.

Di ranah politik, selain telah dibentuk Pansus Bank Century di DPR, kasus ini bahkan telah menyudutkan tim sukses Presiden Susilo Bambang Yudhoyono karena diduga menerima aliran dana dari bailout Bank Century itu.

Audit BPK menyebutkan dosa pertama dimulai dengan lemahnya pengawasan BI dalam proses akuisisi dan merger Bank Danpac, Bank Pikko, dan Bank CIC menjadi Bank Century. BI dinilai tidak tegas dalam menerapkan aturan.

Selain itu, BI juga dinilai tidak tegas terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Century dalam kurun waktu 2005-2008. BI diduga juga melakukan perubahan persyaratan Capital Adequacy Ratio (CAR) dalam Peraturan BI (PBI) agar Century dapat memperoleh fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP). BI memberi FPJP, padahal CAR Century pada saat itu telah negatif 132,5 persen dan nilai jaminan FPJP yang diperjanjikan hanya sebesar 83 persen.

BPK melihat BI juga dinilai tidak memberikan informasi sesungguhnya, tidak lengkap dan mutakhir saat menyampaikan Century sebagai bank gagal yang ditengarai berdampak sistemik kepada KSSK.

Informasi yang tidak diberi seutuhnya itu menyangkut pengakuan kerugian (PPAP) atas surat-surat berharga (SSB) valas yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang menurunkan CAR dan meningkatkan biaya penanganan dari yang semula diperkirakan Rp632 miliar menjadi Rp6,7 triliun.

BI dan KSSK juga tidak memiliki kriteria terukur dalam menetapkan dampak sistemik Bank Century. Penetapan dinilai hanya berdasarkan judgement. BPK bahkan menyebutkan bahwa kelembagaan Komite Koordinasi yang beranggotakan Menkeu, Gubernur BI, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) belum pernah dibentuk berdasarkan UU sehingga status hukumnya dipertanyakan.

Selain itu, audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan juga memuat "dosa" LPS antara lain LPS belum secara resmi menetapkan perhitungan perkiraan biaya penanganan Bank Century secara keseluruhan.

Hal ini dipengaruhi oleh keputusan KSSK tentang penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik yang tidak menyebutkan biaya penanganan yang harus dikeluarkan LPS.LPS juga melanggar ketentuan Peraturan LPS No. 3/PLPS/2008 ketika menyalurkan penyertaan modal sementara (PMS) tahap kedua sebesar Rp2,2 triliun.

Penyalurannya tidak dibahas dalam Komite Koordinasi, yang di dalamnya ada Ketua Dewan Komisioner LPS. Untuk menyalurkannya, LPS malah mengubah ketentuan dalam PLPS No. 5/PLPS/2006 dengan PLPS No. 3/PLPS/2006 sehingga KPS dapat menenuhi kebutuhan likuiditas bank gagal sistemik.

"Dengan demikian, patut diduga bahwa perubahan PLPS merupakan rekayasa yang dilakukan agar Bank Century dapat memperoleh tambahan PMS, tidak hanya untuk memenuhi CAR, tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan likuiditas," kata Ketua BPK Hadi Purnomo waktu itu.

Berdasar pada penolakan DPR terhadap Perpu Nomor 4 Tahun 2008 tentang JPSK, BPK menyimpulkan bahwa empat tahap penyaluran PMS kepada Bank Century tidak memiliki dasar hukum. Sebanyak empat tahap penyaluran dana adalah pertama sebesar Rp2.886,22 miliar, tahap kedua Rp1.101,00 miliar, tahap ketiga sebesar Rp1.155,00 miliar dan keempat sebesar Rp630,22 miliar.

Hal lain yang menjadi sorotan BPK adalah penarikan dana oleh pihak terkait dalam periode Bank Century yang ditempatkan dalam pengawasan khusus sebesar Rp938,65 miliar melanggar ketentuan BI soal tindak lanjut pengawasan dan penetapan status bank.

Seharusnya, bank yang berstatus "dalam pengawasan khusus" dilarang melakukan transaksi. Bank Century akhirnya mengalami kerugian karena mengganti deposito milik salah satu nasabah Bank Century yang dipinjamkan atau digelapkan sebesar 18 juta dollar AS dengan dana yang berasal dari PMS.

"Selain itu, pemecahan deposito nasabah tersebut, menjadi 247 NCD dengan nilai nominal masing-masing Rp2 miliar, dilakukan untuk mengantisipasi, jika Bank Century ditutup, maka deposito nasabah tersebut termasuk deposito yang dijamin oleh LPS," kata Hadi.

Hadi juga menyebutkan, dari biaya penanganan untuk PMS sebesar Rp6,7 triliun, sebesar Rp5,68 triliun merupakan kerugian Bank Century akibat adanya praktik-praktik tidak sehat dan pelanggaran ketentuan, baik oleh pengurus bank, pemegang saham, maupun pihak terkait.

Tanggapan audit
Menanggapi audit BPK itu, beberapa pihak terkait seperti BI, Menkeu Sri Mulyani dan LPS telah memberikan bantahan terhadap keterangan BPK dalam auditnya.

Bank Indonesia dengan tegas menjelaskan bahwa audit BPK itu belum menggambarkan fakta yang sesungguhnya terjadi pada saat proses penyelamatan Bank Century dilakukan pada November 2008.

Deputi Gubernur BI Muliaman D Hadad menjelaskan BPK dalam auditnya hanya menangkap penggalan-penggalan kejadian dalam proses bailout Bank Century dan tidak melihat secara lengkap latar belakang secara luas berbagai kebijakan yang telah diambil BI sebelum proses bailout Bank Century dilakukan.

"BPK tidak secara lengkap dan utuh menyampaikan fakta, keterangan, data dan informasi yang relevan serta terkait dengan proses analisis bank yang ditengarai berdampak sistemik. Beberapa hal hanya dimuat sebagian saja atau bahkan tidak dimuat. Hal ini berakibat bahwa kesimpulan BPK tidak didukung data/keterangan/informasi yang memadai," kata Muliaman.

Beberapa hal yang tidak digali dan dimuat secara lengkap oleh BPK terhadap analisis bank yang ditengarai berdampak sistemik ini lanjut Mulyaman menyangkut analisis bank yang ditengarai berdampak sistemik yang dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai usulan ke KSSK.

Kalau BPK mengumpulkan dan mengungkapkan data yang memadai secara utuh maka dapat tergambarkan bahwa analisis bank yang ditengarai berdampak sistemik pada saat itu merupakan pelaksanaan dari amanat Perpu No.4 tahun 2008 tentang JPSK dan merupakan akumulasi data/informasi dan analisis yang telah dilakukan oleh Bank Indonesia yang dilakukan secara regular dalam rangka pemantauan kondisi makro ekonomi serta risiko-risiko di sistem keuangan/perbankan.

Selain itu, agar analisis lebih komprehensif, terdapat lima aspek yang digunakan Bank Indonesia untuk melakukan analisis terhadap bank gagal yang ditengarai sistemik yaitu institusi keuangan, pasar keuangan, sistem pembayaran, sektor riil, dan psikologi pasar.

Oleh karena itu Dewan Gubernur BI maupun KSSK ketika melakukan analisis Bank Century yang ditengarai berdampak sistemik, tidak hanya didukung oleh data yang berasal dari laporan, namun telah didukung data dan informasi yang lengkap dan mutakhir dari berbagai sumber.

Dengan demikian Dewan Gubernur memiliki data dan informasi yang cukup mengenai kondisi dan kerentanan sistem keuangan dan perbankan guna mengambil keputusan yang bertujuan untuk mencegah krisis dan memelihara stabilitas sistem keuangan.

Muliaman juga menjelaskan, penutupan Bank Century berpotensi menimbulkan dampak sistemik terutama dilihat dari jalur-jalur sebagai berikut yaitu melalui sistem pembayaran: medium to high impact.

Apabila bank ini ditutup dikhawatirkan akan menyebabkan terjadinya rush pada peer banks dan bank-bank yang lebih kecil, sehingga akan mengganggu kelancaran sistem pembayaran.

Melalui pasar keuangan: medium to high impact; penutupan bank ini akan menimbulkan sentimen negatif di pasar keuangan, terutama dalam kondisi pasar yang sangat rentan terhadap berita-berita yang dapat merusak kepercayaan terhadap pasar keuangan.

Melalui psikologi pasar: medium to high impact; kegagalan bank ini dapat menambah ketidakpastian pada pasar domestic yang dapat berakibat fatal pada psikologi pasar yang sedang sensitif.

Melalui lembaga keuangan: low to medium impact; secara institusi, penutupan bank ini tidak berdampak signifikan terhadap sektor perbankan, karena pangsanya terhadap industri yang tidak terlalu besar.

Melalui sektor riil: low impact; karena perannya pada pemberian kredit terhadap sektor riil tidak signifikan, maka kegagalan bank ini memiliki dampak yang relatif terbatas terhadap sektor riil.

Dari analisis tersebut di atas, permasalahan pada Bank Century berpotensi menimbulkan dampak sistemik terutama melalui jalur psikologi pasar, sistem pembayaran, dan pasar keuangan.

Audit menyesatkan
Bank Indonesia juga membantah penilaian BPK yang menyebutkan bahwa penghitungan biaya penyelamatan Bank Century tidak didasarkan pada data yang sesungguhnya karena perhitungan tersebut sebenarnya telah didasarkan pada data/informasi yang ada pada saat itu.

Muliaman menjelaskan, pada saat menyampaikan surat GBI kepada KSSK tanggal 20 November 2008, pemeriksaan Bank Indonesia terhadap Bank Century masih berlangsung sehingga kondisi riil Bank Century secara utuh belum dapat diketahui, sehingga perhitungan CAR pun masih bisa berubah sesuai dengan hasil temuan pemeriksaan.

Namun demikian, setelah Bank Indonesia menyatakan bank sebagai bank gagal pada tanggal 20 November 2008 dan mengingat adanya SSB valas jatuh tempo pada bulan November 2008 (USD45 juta) dan Desember 2008 (USD40,36 juta) yang diperkirakan tidak terbayar dan dinilai Macet, maka kebutuhan modal yang diinformasikan kepada KSSK sebesar Rp1,77 triliun.

Di samping itu, BI juga memberikan informasi kepada KSSK bahwa bank memerlukan tambahan likuiditas sebesar Rp4,79 triliun, sehingga secara total kebutuhan dana untuk penyelamatan bank diperkirakan sebesar Rp6,56 triliun.

Selanjutnya, sebagaimana hasil konsultasi dengan Sekretaris KSSK, maka dalam lampiran 1 Surat GBI kepada KSSK pada tanggal 20 November 2008, bahwa untuk mencapai CAR 8 persen dibutuhkan tambahan modal sebesar Rp632 miliar, yaitu tambahan modal minimal atas dasar posisi neraca bank tanggal 31 Oktober 2008.

Namun jumlah tersebut akan terus bertambah seiring dengan pemburukan kondisi bank selama bulan November 2008. Hal itu disebabkan pemeriksaan masih berlangsung, dan terdapat kemungkinan pemburukan kondisi bank.

Dengan demikian, sejak awal BI telah memberikan informasi yang cukup melalui Sekretaris KSSK bahwa kebutuhan biaya penyelamatan Bank Century untuk kebutuhan modal dan likuiditas sekitar sebesar Rp6,56 trilyun.

BI bahkan mengatakan kesimpulan BPK mengenai rekayasa perubahan Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek (FPJP) untuk Bank Century dinilai menyesatkan.

BI menyebutkan bahwa perubahan FPJP merupakan rangkaian dari seluruh kebijakan yang ditempuh untuk mengatasi kesulitan likuiditas baik rupiah maupun valas dalam periode Oktober - Desember 2008. Sehingga bisa dipastikan bahwa perubahan ketentuan FPJP tidak untuk menyelamatkan individual bank tetapi diutamakan untuk menjaga dampak kesulitan likuiditas terhadap sistem perbankan.

Selain itu, keterbatasan ketersediaan data neraca sehingga menimbulkan perbedaan antara pengawas Bank Indonesia dan Auditor BPK terutama dalam penetapan CAR Bank Century dan kebutuhan penambahan modal setelah Bank Century dinyatakan sebagai Bank Gagal.

Dengan melihat berbagai kondisi seperti terus memburuknya kondisi likuiditas Bank Century dan keyakinan dari Dewan Gubernur BI bahwa dalam masa krisis tersebut sangat dihindari terjadi keputusan adanya Bank Gagal, karena mempertimbangkan bahwa psikologi pasar akan sangat rentan yang dilandasi oleh hasil stress testing terhadap 18 bank berskala menengah dan lima bank lainnya yang memiliki total aset hampir sama dengan Bank Century.

Akhirnya Dewan Gubernur memutuskan untuk melakukan amandemen PBI FPJP No.10/30/PBI/2008 tanggal 14 November 2008 yang bersifat sementara dan dilakukan untuk memenuhi semangat dari PERPU No.2 Tahun 2008. Kemudian diterbitkan pula PBI FPD yang sesuai dengan PERPU No.4 Tahun 2008 pada tanggal 18 November 2008.

Sementara mengenai agunan FPJP adalah nilai dari aset kredit yang menjadi jaminan FPJP dihitung dari besarnya hak tagih yang ada (outstanding kredit) dan sama sekali tidak dikaitkan dengan besarnya nilai jaminan atau agunan dari kredit dimaksud yang diserahkan oleh debitur.

Melihat hal tersebut, sangat jelas bahwa auditor sama sekali tidak mempertimbangkan kondisi likuiditas sistem perbankan yang sedang tertekan dan hasil stress-testing serta mengabaikan pertimbangan otoritas terhadap kemungkinan yang akan terjadi atas pemburukan sistem perbankan yang dipicu oleh kondisi Bank Century.

Terkait dengan dasar waktu untuk perhitungan kecukupan CAR, BPK mengatakan bahwa FPJP yang diberikan tanggal 14 November 2008 adalah dalam kondisi Bank CAR negatif 132,5 persen. BI berpendapat BPK sama sekali tidak memahami penjelasan adanya time-lag penggunaan neraca untuk dasar penetapan CAR dan telah keliru melakukan penurunan kualitas aset tidak sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia.

Jalur hukum
Perbedaan persepsi terhadap kasus Bank Century antara BPK sebagai auditor dengan beberapa pihak yang diauditnya menurut pengamat ekonomi Ryan Kiryanto hanya bisa ditengahi melalui proses hukum.

"Biar nanti proses hukum yang menyelesaikannya, karena meski BPK menyebutkan ada dugaan pelanggaran, tetapi kalau nanti bisa disampaikan bahwa itu dilakukan pada situasi krisis yang memperbolehkan regulator atau pemerintah boleh mengambil kebijakan tertentu, itu bisa membatalkan pelanggaran," katanya.

Dalam proses hukum nanti, lanjut Ryan pihak berwenang seperti KPK atau Kejaksaan juga harus menghadirkan sejumlah saksi ahli yang mengerti bagaimana kondisi krisis keuangan pada saat itu dan langkah-langkah yang harus diambil para pemangku kepentingan.

Saksi ahli itu, katanya, bisa para pelaku keuangan seperti banker atau sekuritas yang mengalami dengan baik situasi krisis waktu itu, dan para peneliti bidang ekonomi keuangan.

Ryan mengatakan, proses pengambilan kebijakan tidak bisa dipidanakan apabila keputusan yang diambil tidak melanggar ketentuan UU, tidak ada benturan kepentingan, diambil dalam situasi krisis, karena bisa berdampak luas dan diambil dalam proses yang kolegial.

Sementara pengamat sektor keuangan Yanuar Rizki menilai audit investigasi BPK terhadap kasus Bank Century tidak fokus dan tidak memasukkan perintah kerja KPK serta tidak lengkap

"Artinya dia tidak jelas, liar mencampuradukkan antara audit kepatuhan dan investigasi. BPK juga menyampaikan semua data jadi kesimpulannya tergantung orang yang baca. Audit kan tidak bisa begitu. Audit harus ada `frame`nya karena ini audit investigasi," katanya.

Senada dengan Ryan, Yanuar menilai kebijakan untuk menyelamatkan Bank Century tidak bisa dipidanakan apalagi kalau BI bisa membuktikan bahwa FPJP itu tepat sasaran.

"Itu tidak ada pidana, paling persoalan kebijakan itu tidak cermat. Jadi kalau saya auditor BPK ngapain saya menilai sistemik. Tidak ada relevansinya. Dengan kata lain wajar setelah FPJP itu masuk ada daftar deposan terafiliasi ngambil," katanya.

Setelah audit BPK ini, lanjutan kasus Bank Century tampaknya akan terus menggelinding ke ranah hukum dan politik. KPK sudah mulai melakukan penyelidikan berdasarkan hasil audit itu. Sementara di DPR, Pansus Bank Century sudah terbentuk dan siap bekerja meski DPR sedang reses.(*)

Oleh Dody Ardiansyah
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2009