Jakarta (ANTARA News) - Indonesia mulai mendapatkan dana dari jualan program pengurangan emisi perusakan dan penggundulan hutan (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation/ REDD), salah satunya dari Norwergia.

Pada 26 Mei 2010, Pemerintah Indonesia dan Norwegia sepakat melakukan kerjasama konservasi kehutanan untuk mengurangi emisi karbon senilai satu miliar dolar AS.

Penandatangan kesepakatan berbentuk Letter of Intent (LoI) REDD+ --pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan-- itu dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan Menteri Lingkungan Hidup dan Pembangunan Internasional Norwegia Erik Solheim di Government Guest House, Oslo, Rabu sore (26/5)waktu setempat.

Sebagai salah tindak lanjut kerjasama tersebut, pemerintah Indonesia berkomitmen untuk melakukan moratorium atau penghentian sementara penerbitan ijin pengusahaan hutan.

Komitmen moratorium disampaikan Presiden Yudhoyono dalam konfrensi pers bersama dengan Perdana Menteri Norwegia Jens Stoltenberg sehari sebelum dimulainya Konferensi Iklim dan Hutan Norwegia di Oslo.

Rencana moratorium izin pengusahaan hutan mendapat tanggapan yang beragam dari kalangan dunia usaha.

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia melihat moratorium ijin hutan tersebut akan menghambat tujuan pertumbuhan ekonomi sebesar delapan persen pada 2014.

Wakil Ketua Umum (WKU) Kadin bidang Kelautan, Perikanan dan Peternakan, Juan Permata Adoe menyatakan pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) nomor 10/2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan merupakan bentuk implementasi moratorium sebagai tindak lanjut kesepakatan Oslo.

Juan melihat hendaknya pemerintah membuat petunjuk pelaksanaan yang jelas dari peraturan-peraturan tersebut.

"Harus tegas, mana lahan yang hutan, mana yang bukan dan mana yang lahan terlantar. Hal ini agar lahan terlantar yang disebut Menko (Perekonomian, Hatta Rajasa), bisa dimanfaatkan secara benar,`` katanya.

Sedangkan Ketua Umum Pergantian Antar Waktu (PAW) Kadin, Adi Putra Tahir mengatakan, pemberlakuan PP nomor 10/2010 membuat investor tidak tertarik menanamkan modal.

Adi juga mempertanyakan kelanjutan penetapan tata ruang nasional, terutama inventarisasi faktual atas lahan yang ada, seperti misalnya sebuah persil yang menurut Kementerian Kehutanan merupakan lahan hutan, dalam kondisi aslinya merupakan padang ilalang dan tandus.

"Tata ruang kita belum beres, kalau begini terus posisi kita sebagai penghasil minyak sawit terbesar di dunia jadi terancam. Kita (Kadin) mendukung arah kebijakan pemerintah tapi harus jelas," katanya.

Tetapi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mendukung keputusan pemerintah yang menerapkan moratorium konversi hutan primer dan hutan gambut, meskipun memberi catatan terhadap sejumlah kebijakan

"Pada intinya kami mendukung dan kalau memang sudah menjadi sikap politik pemerintah kita akan ikut menghormati, apalagi jika memang tujuannya baik sebagai tata kelola hutan," kata Sekjen Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) Joko Supriyono di Jakarta.

Menurutnya, GAPKI dapat memaklumi dan memahami keputusan pemerintah yang menerapkan moratorium konversi hutan primer dan lahan gambut serta mendukung upaya-upaya pemerintah dalam mengembangkan industri kelapa sawit yang berkelanjutan.

Namun demikian, katanya, anggotanya sesungguhnya selama ini telah melakukan sejumlah langkah sesuai dengan ketentuan pemerintah.

Sebagai industri kepala sawit, katanya, pemerintah seharusnya juga ikut sadar bahwa industri tersebut selama ini telah memberikan kontribusi besar terhadap pertumbuhan ekspor nonmigas yang sangat signifikan.

"Selain itu perkebunan dan industri sawit selama ini juga menjadi tumpuan kesejahteraan kepada lima juta kepala keluarga dan mereka tergantung pada kelangsungan sektor ini," kata Joko.

Menurutnya, jika perkebunan dan industri sawit terganggu maka hal itu sesungguhnya juga akan ikut mengganggu ekonomi nasional, karena akan berdampak terhadap pertumbuhan ekspor nonmigas juga terhadap kesejahteraan para petaninya.

GAPKI mengharapkan, selama masa penerapan moratorium tersebut, pemerintah perlu segera melakukan konsolidasi seluruh kebijakan dan program-program nasional yang berkaitan dengan upaya-upaya menjaga kelestarian lingkungan dan menekan emisi gas rumah kaca.

Selain itu, pemerintah perlu lebih serius menata sistem peraturan perundangan, kebijakan sektoral, koordinasi lintas sektor baik secara horizontal maupun vertikal.

"Tumpang tindih kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah, serta tidak sinkronnya kebijakan sektoral dalam hal restorasi dan rehabilitasi lahan hutan perlu segera diatasi hingga tuntas," tegasnya.

Tidak hambat
Moratorium penerbitan izin pengusahaan hutan tidak akan menghambat industri kehutanan di Indonesia, kata Staf Khusus Presiden RI untuk Perubahan Iklim, Agus Purnomo.

"Tidak ada yang berhenti. Industri kehutanan tetap berproduksi dan bekerja. Yang dihentikan adalah penerbitan izin-izin baru yang ditunda sampai dua tahun," kata Agus Purnomo yang ditemui di kantornya di Jakarta.

Dia mengatakan pemerintah tidak ada niat untuk mempersulit perusahaan dan masyarakat untuk berusaha di bidang kehutanan.

Apabila suatu perusahaan telah mempunyai izin pengusahaan hutan, lanjutnya, maka perusahaan tersebut dipersilahkan untuk beroperasi dan berproduksi.

"Akan tetapi kalau perusahaan itu berkeinginan untuk menambah lahan terutama di lahan gambut, maka lupakan saja. Pemerintah tidak akan menerbitkan izin," katanya.

Agus yang lebih akrab dipanggil Pungki mengatakan pemerintah akan menata ulang pemanfaatal lahan dan hutan di seluruh Indonesia.

Sebelumnya, Menko Perekonomian Hatta Rajasa, mengatakan, moratorium konversi kawasan lahan gambut dan hutan alam primer sebagai bagian dari rencana aksi nasional untuk mengurangi emisi gas karbon.

"Moratorium (penghentian sementara) merupakan bagian dari rencana aksi nasional dan secara keseluruhan untuk mengurangi emisi gas karbon," ujarnya saat ditemui seusai rapat koordinasi di Kantor Menko Perekonomian Jakarta, Selasa.

Ia menambahkan untuk merealisasikan rencana aksi nasional tersebut adalah pemerintah juga bekerja sama dengan negara maju seperti Norwegia dan berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon hingga 26 persen pada 2020.

"Tanpa bantuan internasional pun, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi karbon, namun kerjasama dengan norwegia tersebut, adalah sebuah model kerjasama negara maju dengan negara berkembang karena Norwegia melihat konsistensi Indonesia dalam menjaga hutan untuk menurunkan emisi dan konsistensi itu mendapatkan penghargaan internasional, " ujarnya.

Menurut Hatta, dalam moratorium itu, selama dua tahun, pemerintah tidak akan menggunakan lahan gambut dan hutan alam primer namun tetap memperhatikan pengembangan sektor pangan seperti penggunaan lahan pertanian dan perkebunan terutama lahan-lahan terdegradasi.

"Tadi sudah dilaporkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) bahwa ada tujuh juta hektar lahan kita yang diluar kawasan hutan yang masih dapat digunakan untuk pengembangan perkebunan dan pertanian kita. Artinya kita tidak sama sekali mengancam atau menganggu ketahanan pangan," katanya.(N006/A025)

Pewarta: Nur R Fajar
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2010