Jakarta (ANTARA News) - Menteri Kehutanan (Menhut) MS Ka`ban mengemukakan bahwa Indonesia memberikan sedekah besar untuk negara-negara industri karena menyerap emisi karbon dari negara-negara tersebut dengan hutan tropis yang dimilikinya.

"Negara industri melepas CO2 yang diserap hutan di Indonesia dan negara berkembang lain, namun insentifnya belum ada, sehingga kita bersedekah besar pada mereka," katanya di Jakarta, Rabu.

Berbicara sebagai pembicara kunci seminar sehari bertema "Menggalang Inisiatif Perdagangan Karbon Sukarela" yang diadakan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) dan Koperasi Perumahan Wanabakti Nusantara (KPWN) Dephut, ia mengupas masalah belum seimbangnya kompensasi itu.

Menurut dia, negara industri yang banyak melepas emisi CO2 seringkali hanya menyoal deforestasi, namun usaha negara berkembang yang menjaga kelestarian hutannya belum dihargai dengan semestinya.

"Mestinya aktivis lingkungan kita bisa membantu menyuarakan belum seimbangnya kompensasi karbon itu," katanya.

Karena itu, kata dia, semua pemangku kepentingan lingkungan, termasuk kehutanan dan aktivis lingkungan di Indonesia perlu mendesak negara industri mengenai insentif dari penyerapan karbon itu.

"Jadi harus seimbang, negara industri mengeluarkan emisi, hutan kita menyerap karbonnya, maka mesti ada insentif sebagai kompensasinya," katanya.

Merujuk pada studi badan PBB urusan pangan dan pertanian (FAO) tahun 2006, MS Ka`ban mengemukakan bahwa hutan beserta tanah dibawahnya di seluruh dunia menyimpan lebih dari 1 triliun ton karbon, yang berarti dua kali lipat jumlah karbon di atmosfer.

Sedangkan kerusakan hutan, kata dia, menambah hampir 6 miliar ton CO2 ke atmosfer per tahun.

Pada bagian lain, ia menyatakan bahwa dalam hitung-hitungan ekonomi, perdagangan karbon jelas menguntungkan.

"Sayangnya hingga kini kita belum untung (dari skema perdagangan karbon) itu," katanya.

Karena itu, ia menyambut baik inisiatif LEI dan KPWN mengadakan kegiatan seminar itu sebagai bentuk komitmen berbagai pihak dalam mengendalikan pemanasan global dan perubahan iklim.

"Sudah banyak konsep dan skema perdagangan karbon yang berkembang, tetapi masih minim sosialisasi dan diskusi perdagangan karbon di Indonesia," katanya.

Penyelenggaraan acara semacam itu penting mengingat isu perdagangan karbon saat ini sudah merebak cukup lama di Indonesia, termasuk di daerah, namun masih timbul banyak pertanyaan mendasar tentang isu perdagangan karbon itu sendiri.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009