Jakarta (ANTARA News) - Budaya tanding di masyarakat telah lahir, yakni masyarakat tidak bisa lagi digiring partai politik dan condong melihat wajah baru atau figur alternatif pemimpinnya, kata Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate, Sukardi Rinakit. Menurut Sukardi atau yang akrab disapa Cak Kardi, di Jakarta, Rabu, kemenangan pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf di Jawa Barat dan juga Ismet Iskandar-Rano Karno di Tangerang menunjukkan budaya tanding di masyarakat telah lahir. "Kalau melihat kasus pemilihan kepala daerah Jawa Barat dan Kota Tangerang, Tuhan memang tidak tidur. Sikap mudah bosan masyarakat menjadi katalisator bagi penguatan budaya tanding," katanya, di sela-sela acara peluncuran buku "Tuhan Tidak Tidur" (Gusti Ora Sare) oleh Sukardi Rinakit. Dikatakannya, masyarakat merasa bosan dengan wajah lama dan menginginkan sosok pemimpin baru, meskipun tidak optimis pemimpin yang dipilih mampu menyejahterakan mereka. Masyarakat memilih pemimpin yang mereka suka. Masyarakat sedang membangkitkan potensi budaya tanding yang ada dalam diri mereka. Ini sekaligus membuktikan bahwa karakter manusia Indonesia secara umum adalah melodramatik. Karakter masyarakat melodramatik adalah sifat yang suka terharu, ingatan pendek, mudah bosan, dan cenderung mengambil sikap diametral. Dalam karakter demikian, masyarakat cenderung memilih kembali pemimpin yang gagal hanya karena orang tersebut berbuat baik. Apabila pemimpin tidak berbuat baik, maka pemilih langsung mengambil sikap diametral. Hasil pemilihan kepala daerah di Jabar dan Tangerang, lanjut dia, menunjukkan karakter melodramatik itu justru memiliki potensi perlawanan yang luar biasa. Karakter tersebut justru menjadi pendorong lahirnya budaya tanding di masyarakat. Calon yang diajukan partai besar bisa dikalahkan oleh "wajah baru", calon alternatif yang diusung oleh partai menengah kecil karena masyarakat bosan dengan "wajah lama." "Oleh sebab itu, partai-partai besar harus melakukan lompatan radikal baik dalam strategi maupun perekrutan kader," katanya. Partai politik, lanjut dia, sebaiknya mulai melihat potensi sosok pemimpin alternatif yang memiliki kewibawaan, kemampuan, dan cerdas. "Kalau tidak memunculkan wajah baru, pertarungan akan sulit dihadapi, dan partai kalah secara nasional," ujarnya. Sisi negatif dan positif Karakter melodramatik masyarakat Indonesia memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positif yaitu mendorong budaya tanding di masyarakat, sementara negatifnya adalah mendorong sikap pesimis yang dapat berubah menjadi pragmatis. "Masyarakat tidak peduli siapa pemimpinnya, yang penting suka," katanya. Dalam karakter masyarakat melodramatik, tugas kepemimpinan nasional adalah mengubah karakter masyarakat dan menginspirasi rakyat. Pemimpin bertugas tidak hanya memberikan kepenuhan pangan, sandang, papan, dan biaya pendidikan serta kesehatan yang terjangkau, katanya. "Seorang pemimpin di republik ini hanya bisa disebut berhasil apabila mampu merengkuh capaian sosial ekonomi dan menekan karakter melodramatik masyarakat, artinya membangun `character building` bangsa, perasaan bernegara dan membangun `nation`," katanya, Acara tersebut dihadiri sejumlah tokoh antara lain Sri Sultan Hamengkubuwono X, anggota Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa, Muslim Abdurrahman, Rosihan Anwar, Soegeng Sarjadi, Sekjen Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Pramono Anung, Moerdiono, Ratna Sarumpaet, dan Rieke Diah Pitaloka. (*)

Copyright © ANTARA 2008