Surabaya (ANTARA News) - Aktor era 1970-an Roy Marten alias Roy Wicaksono (56), Jumat, akhirnya divonis majelis hakim di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dengan pidana tiga tahun penjara dan denda Rp10 juta dengan subsider tiga bulan kurungan. Vonis yang dijatuhkan majelis hakim yang diketuai Berlin Damanik SH itu lebih ringan enam bulan dibanding tuntutan JPU (Jaksa Penuntut Umum) yakni tiga tahun enam bulan dan denda Rp10 juta subsider tiga bulan kurungan (pengganti pidana bila tak mampu membayar denda). Dalam sidang putusan yang dihadiri Gading Marten (putra Roy Marten) itu, majelis hakim menilai suami Anna Maria itu terbukti terlibat dalam "pesta" sabu-sabu di sebuah hotel di kawasan Ngagel, Surabaya pada 13 November 2007. "Saksi Hong Kho Hong dan Didit Kesit Cahyadi memang berbeda keterangan dengan saksi Freddy Mattatula dan Windayani. Hong dan Didit mengaku tak melihat terdakwa menghisap sabu-sabu, tapi Freddy dan Winda mengaku melihat terdakwa menghisap sabu-sabu," kata Berlin Damanik. Namun, majelis hakim meragukan kesaksian Hong dan Didit yang merupakan teman Roy di LP Cipinang, karena itu keterangan Freddy dan Windayani yang juga teman Roy dianggap lebih obyektif, sehingga Roy diyakini terlibat dalam "pesta" sabu-sabu di hotel itu. "Saksi Freddy dan Windayani mengaku terdakwa mengisap sabu-sabu sebanyak dua kali yakni di kamar 668 bersama kedua saksi, kemudian terdakwa juga menghisap sabu-sabu di kamar 465 bersama kedua saksi serta saksi Didit," katanya. Dengan fakta-fakta yang ada, katanya, unsur persekongkolan antara terdakwa dengan rekan-rekannya untuk menyalurkan (mengedarkan) sabu-sabu tidak terbukti sebagaimana dakwaan primer yakni pasal 71 ayat (1) juncto pasal 60 ayat (2) UU 5/1997 tentang Psikotropika (bersekongkol untuk mengedarkan). "Tapi, unsur dakwaan subsidair tentang memiliki dan menyimpan (pasal 71 ayat 1 juncto pasal 62 UU 5/1997 terkait perihal persekongkolan memiliki/menyimpan) telah terbukti, karena terdakwa bersama rekannya terbukti memakai psikotropika golongan II yang penggunaannya perlu izin," katanya. Untuk dakwaan lebih subsidair (pasal 65 UU 5/1997 terkait perihal tidak melaporkan penyalahgunaan psikotropika), katanya, tak perlu dibuktikan lagi, karena dakwaan subsidair sudah terbukti. Dalam sidang itu, majelis hakim juga menyinggung permohonan rehabilitasi. "Itu (permohonan rehabilitasi) tak beralasan, karena tidak serius karena sudah mengikuti rehabilitasi tapi masih menggunakan," katanya. Namun, majelis hakim juga menjatuhkan vonis atas pertimbangan yang meringankan dan memberatkan. Hal yang meringankan, terdakwa sopan dalam persidangan, memiliki tanggungan keluarga, dan menyesal. "(Pertimbangan) yang memberatkan adalah terdakwa tak berterus terang, melakukan pembohongan publik dalam testimoni BNN, mengingkari kepercayaan BNN untuk memberantas narkoba, dan pernah dihukum dalam kasus yang sama (di LP Cipinang)," katanya. Menanggapi vonis itu, penasehat hukum terdakwa Chris Salam SH dan Sunarno Edy Wibowo SH MH menyatakan pikir-pikir, kemudian JPU yang dipimpin Adi Wibowo SH pun akhirnya menyatakan pikir-pikir. Pikir-pikir adalah sikap akan ditentukan dalam sepekan, apakah menerima atau banding.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008