Semarang (ANTARA News) - Menjelang peringatan "100 Tahun Kebangkitan Nasional", 20 Mei 2008, eksistensi bahasa Indonesia terancam dipinggirkan oleh pewarisnya sendiri, dengan makin maraknya gejala sindrom anak jajahan. Pada awal masa kemerdekaan, pernah muncul muncul istilah "kaum belandis". Mereka itu adalah kaum terpelajar yang masih suka hidup dalam gaya kebelanda-belandaan, termasuk dalam hal berbahasa. Ahmad Tohari, budayawan peraih "SEA Write Award" (hadiah sastra ASEAN) tahun 1995, belum yakin gejala sindrom anak jajahan itu sekarang sudah hilang meski bangsa ini sudah merdeka lebih dari 62 tahun. "Mungkin belum, dan hanya sedikit bergeser. Karena penjajah sekarang berbahasa Inggris, maka banyak orang termasuk kaum terpelajar suka keinggris-inggrisan secara kurang proporsional," kata penulis novel "Ronggeng Dukuh Paruk", yang karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang, Belanda, dan Jerman. Pria kelahiran Tinggarjaya, Kecamatan Jatilawang, Banyumas, 13 Juni 1948, itu prihatin terhadap sebagian pebisnis yang sering memperlakukan bahasa Indonesia semena-mena. Menurut Ahmad Tohari, iklan-iklan mereka banyak sekali yang menggunakan bahasa tidak baku. Bahkan, pemakaian bahasa asing intensitasnya makin hari semakin tinggi. Mereka terkadang memaksakan hukum DM (diterangkan-menerangkan) menjadi MD, misalnya nama Permata Bank. Padahal dulu pernah diubah menjadi Bank Permata agar sesuai dengan hukum DM, tetapi sekarang nama itu kembali ke Permata Bank, hanya penulisannya disatukan menjadi "PermataBank". Tak hanya mereka yang berada di perkotaan, pebisnis kecil di kampung pun terpengaruh. Bahkan, mereka terkesan bangga menulis "Sarkem Salon", "Paijo VCD Rental", atau "Pailul Motor Service". Begitu pula, pemakaian istilah "pelayan kantor" yang kini nyaris hilang karena orang lebih suka menyebut "office boy" atau "OB". Bahkan, di dunia pendidikan pun ada penggusuran kosakata atau istilah Indonesia asli. "Try out" dan "mid semester" adalah contoh dua istilah yang sebenarnya masih sangat terwakili oleh istilah "uji coba" dan "triwulan". Pengindonesian pernah dilakukan Terkait dengan pengindonesiaan nama dan kata asing ini pernah dilakukan pemerintahan H.M. Soeharto. Meski bukan berupa keputusan Presiden (keppres), surat Menteri Dalam Negeri Nomor 434/1021/SJ, tanggal 16 Maret 1995, tentang Penertiban Penggunaan Bahasa Asing yang ditujukan kepada gubernur, bupati, dan wali kota itu berjalan dengan baik. Apalagi setelah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan buku "Pedoman Pengindonesiaan Nama dan Kata Asing" pada bulan Mei 1995, papan nama, papan petunjuk, kain rentang, dan papan iklan di sejumlah kota di Tanah Air menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Dalam ketentuan itu juga masih diperbolehkan memakai bahasa asing, tetapi harus dituliskan di bagian bawah bahasa Indonesia dengan huruf Latin yang lebih kecil. Sebagai contoh Balai Sidang Jakarta di bawahnya ditulis "Jakarta Convention Center" dengan menggunakan huruf Latin yang lebih kecil. "Itu menunjukkan kepedulian Pak Harto terhadap perkembangan bahasa Indonesia," kata Kepala Pusat Bahasa Dr. Dendy Sugono dalam seminar nasional yang diselenggarakan Balai Bahasa Jawa Tengah di Solo, belum lama ini. Pemerintahan semasa Pak Harto, kata Dendy Sugono, juga memberikan kontribusi yang sangat berarti, yakni dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 57 Tahun 1972 tentang Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Kemudian, Mendikbud mengeluarkan keputusan Nomor 0543a Tahun 1987 tentang Ejaan yang Disempurnakan (EYD). Kendati sejumlah peraturan itu bermaksud untuk memosisikan bahasa Indonesia di tempat yang terhormat, pada kenyataannya masih dijumpai penggusuran kosakata atau istilah Indonesia asli belakangan ini. Budayawan Ahmad Tohari lantas mengingatkan kepada anak bangsa agar tetap menjunjung tinggi bahasa persatuan, yaitu bahasa Indonesia, agar bahasa itu tidak dipinggirkan.(*)

Oleh Oleh D.D. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2008