Jakarta (ANTARA News) - Indonesia belum berencana mengembangkan industri mobil hibrid yang kini tengah dikembangkan perusahaan otomotif dunia dan pasarnya terus meningkat di negara maju. "Kebijakan otomotif di kita belum ke arah utu," kata Menperin Fahmi Idris di Jakarta, akhir pekan, menanggapi pertanyaan apakah Indonesia juga akan mengembangkan industri mobil hibrid dengan kebijakan yang kondusif. Ia mengatakan mobil hibrid bukan merupakan tren permintaan pasar dunia, tapi tren yang diciptakan produsen otomotif menyikapi perubahaan iklim dan pemanasan global. "Tidak seluruh pabrik mobil mengembangkan mesin hibrid yang bergerak awalnya dengan tenaga bbm, tapi setelah 10 km mati, kemudian pakai tenaga listrik," katanya. Saat ini, kata dia, produsen otomotif Jepang paling maju dalam pengembangan mobil dengan hibrid untuk mengantisipasi perubahan iklim dan pemanasan global. "Barang kali nanti juga (mobil hibrid) menjadi kecenderungan pasar. Tapi sampai sekarang, baru kecenderungan pabrik," kata Fahmi, sehingga pemerintah belum berencana mengarahkan kebijakan untuk mengembangkan mobil hibrid yang diklaim lebih irit bahan bakar dan ramah lingkungan. Sebelumnya Ketua Umum Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) menilai pengembangan mobil hibrid di Indonesia dengan berbagai insentif sehingga harga mobil itu menjadi murah, bisa menjadi alternatif menghemat konsumsi BBM. Mobil hibrid diperkirakan bisa menghemat pemakaian BBM sekitar 20-35 persen dengan emisi gas buang yang rendah dibawah mobil biasa. Namun, Menperin Fahmi Idris menilai pengembangan mobil hibrid yang ramah lingkungan belum cocok untuk negara berkembang seperti Indonesia yang masyarakatnya masih toleran terhadap emisi gas buang. Ia mencontohkan dalam pengembangan mobil dengan emisi gas buang rendah, Indonesia masih memperbolehkan mobil dengan emisi gas buanga Euro II dan III, sedangkan di negara maju seperti Eropa sudah Euro V. "Di negara berkembang masyarakatnya lebih toleran, sebab untuk sampe ke Euro IV ada komponen dari proses produksi yang harus dilengkapi, dihilangkan, dan itu investasi besar sekali. Pengusaha di Indonesia belum kuat mengikuti dilakukan investasi- investasi baru yang cukup besar itu," katanya. Selain itu, mobil dengan emisi gas buang rendah seperti mobil hibrid membutuhkan BBM tertentu yang rendah kadar karbon dan sulfurnya. "Kita belum bisa menghasilkan BBM yang sesuai dengan kebutuhan mobil itu, sehingga bbm kita baru bisa memasok kendaraan pada tingkat Euro II dan III," katanya. Akibatnya, kata dia, kalau ada mobil impor berstandar Euro V masuk ke Indonesia dan menggunakan BBM domestik, bisa rusak mobilnya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008