Jakarta (ANTARA News) - Menyambut Hari Perfilman Nasional ke-58 tahun ini, Saluran Televisi Berbayar ASTRO Kirana bakal menayangkan 31 film terbaik karya sineas Indonesia dari masa ke masa lewat program Bangkit Sinema Nusantara, selama 58 jam non stop. Parade film nasional ini diharapkan dapat menggugah rasa kecintaan pemirsa televisi tersebut pada film garapan lokal Indonesia. Film yang dinilai terbaik adalah Ca Bau Kan, Janji Joni, Jaka Sembung, Me vs High Heels, Biola Tak Berdawai, The Soul, Kanibal, Inem Nyonya Besar, Romi & Yuli, Kafir, Anak-Anak Tak Beribu, Kerinduan, Tangisan Bidadari, Arisan, Virgin, Dang Ding Dong, Seventeen, Pasir Berbisik, Ada Hantu Di Sekolah, Missing, Ateng Pendekar Aneh, 12.00 WIB, Peti Mati, Selalu Di Hatiku, Reinkarnasi, Impian Kemarau, Berbagi Suami, D Trex, Komando Samber Nyawa, Ruang, dan Merah Itu Cinta. Tokoh film nasional Slamet Raharjo tidak kurang menyatakan bahwa Bangkit Sinema Nusantara bisa menjadi evaluasi bagi insan film, untuk kemudian dapat menghasilkan karya-karya yang lebih baik lagi. Menyimak judul-judul film tersebut, dapat dikatakan genre film yang dominan umumnya mengusung kisah drama romantis dan horor, sisanya ada komedi dan petualangan. Pertanyaan yang muncul barangkali adalah, "Mengapa didominasi drama romantis atau percintaan dan horor?" Lalu, "Apakah para pembuat film lokal tidak mampu menghasilkan karya lain di luar itu?" Menurut Slamet Raharjo, film adalah potret kehidupan sosial masyarakt, lebih luasnya budaya bangsa. Bicara tentang film berarti kita bicara soal seni, edukasi, hiburan, ekonomi, industri, ideologi, kebudayaan, dan segala macam. Tentang ramainya produksi film bertema percintaan dan horor dalam satu dekade terakhir, aktor yang juga produser, penulis cerita film dan sutradara kawakan ini mengatakan, "Karena anak-anak sekarang dibentuk demikian. Tidak malu mengemis, minta-minta, pokoknya mau serba gampang." "Tergantung tren" Dominasi film drama roman dan horor juga terlihat dari data produksi film tahun 2007 yang dikeluarkan oleh Subdit Produksi Film Direktorat Perfilman Depbudpar. Dari total 77 judul film, 55 di antaranya sudah disensor, jumlah film bergenre roman mencapai sektiar 20 judul, di antaraya Ayat-Ayat Cinta yang sudah meraih lebih dari dua juta penonton dan diramalkan bakal menembus jumlah penonton AADC (2002) sebanyak 2,4 juta orang, atau bahkan rekor Eifel I`m In Love (2003) yang mencapai tiga juta penonton. Film roman lainnya Badai Pasti Berlalu, Demi Cinta, Cinta Puccino, Kamulah Satu-Satunya, Lost In Love, Romantika D` Amor, Merah Itu Cinta, dan sebagainya, Sementara film horor mencapai 26 judul, termasuk "serial" Hantu, Kuntilanak, atau Suster Ngesot. Kasubdit Produksi Film, Subantoro, mengatakan, pembuat film Indonesia sedikit sekali yang dapat dikatakan pionir, hampir seluruhnya adalah "follower". "Pembuat film kita kebanyakan follower, cuma mengikuti tren. Hampir tidak ada yang berani atau mau mengangkat ide baru," katanya. Bahkan, katanya, produsen "serial" film hantu pun berbeda-beda. Setelah PT Grandiz Production membuat Hantu, PT Maxima Intertainment membuat Hantu Pecah Kulit dan PT Rapi Film membuat Hantu Ronggeng. Pada film bertema percintaan, judul yang menggunakan kata "Cinta" ada sembilan, yakni Tentang Cinta, Semerah Cinta, Merah Itu Cinta, Love Is Cinta, Lost In Love, Demi Cinta, Cintaku Di Barcelona, Cinta Puccino, dan Ayat-Ayat Cinta. "Singkirkan Hollywood" Seandainya pun benar bahwa film maker Indonesia lebih banyak yang "follower", dari segi kepentingan menjadikan film nasional sebagai tuan rumah di negeri sendiri bisa dikatakan sudah tercapai. "Sudah, film Indonesia sudah jadi tuan rumah dong. Sejak tahun 2000 bahkan Anda tahu tidak? Eifel I`m In Love itu jumlah penontonnya tiga juta orang," kata kritikus film Yan Wijaya. Penulis buku Katalog Film Indonesia ini juga mengatakan, bahwa film Hollywood sudah tidak menarik bagi moviegoers di Indonesia. Ia merujuk film Rambo terbaru, John Rambo, yang tidak mampu bertahan sepekan di bioskop. "Padahal dulu, film Rambo begitu dahsyat kan? Sekarang engga ada pengaruhnya tuh," ujarnya. Yan Wijaya mengatakan bahwa data jumlah penonton film Indonesia sudah ditulisnya dalam buku "Katalog Film Indonesia". Dalam buku tersebut terdapat film-film yang disebutnya sebagai "fenomenal" berdasarkan jumlah penonton, mulai dari Eifel I`m in Love, Ada Apa Dengan Cinta (AADC), Get Married (1,4 juta), Naga Bonar Jadi 2 (1,3 juta), "Heart" (1,4 juta), Jelangkung I (1,2 juta), Kuntilanak I (1,2 juta). Berbicara tentang tren film saat ini yang umumnya drama percintaan dan horor, Yan mengatakan, "Bagi saya ya, film itu seni dan barang dagangan. Jadi unsur komersil sangat ditekankan di sini." Yan mengatakan bahwa Horor, Seks dan Komedi adalah beberapa unsur utama film komersil. Bicara tentang sineas, ia mengatakan bahwa saat ini cukup banyak sutradara muda yang karyanya bagus-bagus, di antaranya Mira Lesmana, Nia Dinata, Riri Reza, Hanung Bramantyo, Rudy Sujarwo. "Tapi mereka kan engga punya duit banyak. Jadi ya gitu deh, film-film kita yang berkualitas munculnya satu-satu," ujarnya sambil tertawa. (*)

Oleh oleh John Nikita S
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008