Surabaya, 13/3 (ANTARA) - Aktor kawakan era 1970-an, Roy Marten alias Roy Wicaksono (55), hingga kini gagal menjalani pemeriksaan atau rehabilitasi kejiwaan di rumah sakit. "Itu melecehkan hakim, karena majelis hakim dalam sidang di PN Surabaya (11/3) sudah memperbolehkan," kata pengacara terdakwa, Sunarno Edy Wibowo SH MHum kepada ANTARA News di Surabaya, Kamis. Namun, katanya, Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya tidak mengeluarkan BA-6 (berita acara dari kejaksaan tentang pengeluaran terdakwa dari tahanan), sejak majelis hakim menunda sidang untuk pemeriksaan kejiwaan Roy Marten. "Mereka beralasan, sebagai instansi tersendiri yang tak tunduk pada penetapan hakim. Karena itu, saya akan laporkan ke majelis hakim dalam persidangan pada pekan mendatang," katanya menegaskan. Masalahnya, katanya, bila terjadi sesuatu pada diri Roy Marten, maka dirinya tidak bertanggung jawab. Kejari Surabaya yang harus menanggung semuanya, sebab Roy Marten sebenarnya masih dalam proses rehabilitasi. "Mas Roy akhir-akhir ini depresi, dia sering ketakutan. Karena itu, saya akan coba ajukan permohonan pembantaran untuk menyelamatkan mas Roy," katanya menambahkan. Menanggapi hal itu, anggota Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejari Surabaya, Muhadji SH mengemukakan, majelis hakim memang sudah memberi kesempatan terdakwa Roy Marten untuk menjalani pemeriksaan kejiwaan. "Tapi, kalangan rutan (Rumah Tahanan Negara) dan Kejari Surabaya tidak mengeluarkan terdakwa untuk menjalani pemeriksaan kejiwaan di RSUD dr Soetomo Surabaya," katanya. Ia mengaku, tidak tahu alasan rutan dan kejaksaan yang tidak mengeluarkan B-6, karena dirinya tidak berhak memberi keterangan soal itu. "Secara logika, bila rutan dan kejaksaan tidak mau mengeluarkan B-6, berarti kondisi terdakwa tidak terlalu serius. Tapi tanyakan saja ke Rutan dan Kejari," katanya. Roy Marten diduga terlibat kasus "pesta" sabu-sabu (SS) di sebuah hotel di Surabaya pada 13 November 2007, dengan dakwaan berlapis yakni pasal 71 (bersekongkol). Selain itu, pasal 62 (memiliki, menyimpan, dan atau membawa psikotropika), dan pasal 60 ayat 2, 3, dan 5 (tentang menyalurkan dan menerima penyaluran serta penyerahan) UU 5/1997 tentang Psikotropika. Dalam pasal 37 UU 5/1997 disebutkan bahwa siapa yang mempunyai ketergantungan terhadap narkoba/psikotropika, maka penegak hukum wajib melakukan rehabilitasi. Bila hal itu dilanggar maka akan terancam pasal 64 yang menjatuhkan hukuman satu tahun dan denda Rp20 juta bagi yang menghalangi. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008