Jakarta (ANTARA News) - "Kami, para pemimpin rakyat, yang dipilih secara demokratis, melalui deklarasi ini menyatakan Kosovo sebagai negara merdeka dan berdaulat". Sepotong naskah yang dibacakan dengan keras di gedung parlemen oleh Perdana Menteri Kosovo, Hashim Thaci, Minggu (17/2) siang, itu menandai berakhirnya perjalanan panjang penuh darah yang dijalani Kosovo pasca-runtuhnya negara federasi Yugoslavia. Seluruh 109 wakil yang hadir dalam persidangan di ibukota Kosovo, Pristina, mengangkat tangan sebagai tanda setuju. Masyarakat etnik Albania berpesta. Mereka berduyun-duyun membanjiri ibukota Kosovo Pristina untuk merayakan kemerdekaan (sepihak) wilayah itu dari Serbia, satu hari sebelum yang dijadwalkan. Iring-iringan mobil berputar-putar dengan terompet ketika ribuan orang mengalir ke kota itu dengan melambaikan bendera hitam merah Albania. Sehari sebelumnya, kembang api memeriahkan langit Pristina dalam perayaan spontan kurang dari 24 jam sebelum pemisahan dari Serbia. Rakyat Kosovo boleh berlega hati, perjuangan panjang mereka sejak perang 1998-1999 yang menewaskan sekitar 10 ribu penduduk sipil akhirnya berujung manis. Apalagi, bila dibandingkan dengan sejumlah rekannya seperti Slavia, Bosnia-Herzegovina, dan Montenegro, nasib Kosovo tidak semulus negara-negara tersebut. Jika para tetangganya sudah berhasil memerdekakan diri pascapecahnya negara federasi Yugoslavia, Kosovo justru terjebak dalam ajang pertentangan wilayah antara pemerintah Serbia dan penduduknya yang mayoritas etnis Albania selama delapan tahun terakhir. Semula Kosovo merupakan provinsi Serbia dengan status Daerah Otonomi Khusus, bersama dengan daerah khusus Vojvodina sejak berdirinya Yugoslavia. Setelah berkibarnya perang, Kosovo berada di bawah pengawasan PBB sebagai sebuah protektorat. Kosovo yang dianggap Serbia sebagai tempat lahir kebudayaannya, lepas dari kekuasaan Beograd pada 1999 ketika pemboman NATO mengusir pasukan Serbia yang membunuh 10.000 warga sipil etnik Albania dalam perang dua tahun dengan gerilyawan. Sekalipun Serbia masih menganggap Kosovo sebagai bagian dari kekuasaannya, warga Albanianya menyebut Kosovo dengan nama Republik Kosovo antara tahun 1990 dan 1999 dan menyatakannya sebagai sebuah negara merdeka, meski itu hanya diakui oleh Albania. Beograd memang sangat menentang pemisahan tersebut. Serbia, yang didukung Rusia, bertekad tidak akan pernah melepaskan wilayah yang punya kaitan sejarah dengan mereka hingga seribu tahun lalu itu. Namun, negara-negara Barat mendukung permintaan dua juta etnik Albania di Kosovo yang ingin memiliki negara sendiri. Kosovo menjadi negara keenam yang terbentuk dari bekas federasi Yugoslavia menyusul Slovenia, Kroasia, Masedonia, Bosnia, dan Montenegro serta menjadi negara merdeka ke-193 di dunia, sekalipun Serbia mengatakan Kosovo tidak akan pernah mendapatkan kursi di Perserikatan Bangsa-Bangsa. AS sebagaimana telah diduga langsung mengumumkan pengakuannya sekalipun dua restoran cepat sajinya menjadi sasaran amuk massa di Beograd. Empat negara kuat di Uni Eropa, yaitu Inggris, Perancis, Jerman dan Italia juga menyatakan dukungannya. Dalam hal pengakuan, AS dan sekutunya masih berbeda pendapat dengan Rusia dan China yang merupakan dua anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Pro-Kontra Pengakuan terhadap status kemerdekaan Kosovo menjadi masalah yang dilematis bagi sejumlah negara, terutama negara-negara yang menghadapi kasus serupa di wilayahnya. Proklamasi kemerdekaan Kosovo itu dikhawatirkan akan menjadi contoh bagi wilayah lain yang sedang berpikir untuk merdeka. Sejumlah anggota lain UE, termasuk Spanyol, yang juga cemas akan kesatuan wilayah mereka sendiri, menyatakan menolak kemerdekaan itu. Vietnam, satu anggota tidak-tetap Dewan Keamanan PBB juga menentang pernyataan kemerdekaan sepihak Kosovo dari Serbia. Duta Besar Vietnam untuk PBB Le Luong Minh "menegaskan" kembali kebijakan Vietnam itu karena kenyataannya bahwa deklarasi kemerdekaan sepihak Kosovo bukan merupakan pelaksanaan yang benar dari Resolusi 1244 Dewan Keamanan PBB dan hanya akan menyulitkan situasi di Kosovo dan wilayah Balkan. Hal senada juga dikemukakan Sri Lanka. Sri Lanka saat ini menghadapi ancaman separatisme dari pemberontak Macan Tamil, yang berperang untuk kemerdekaan tanahair suku minoritas Tamil di bagian utara dan timur dari negara itu. Pemberontakan itu telah berlangsung selama 25 tahun dan telah menelan lebih dari 76.000 korban tewas. Di Asia Tenggara, sejumlah negara, termasuk Indonesia, juga belum menunjukkan sikap yang jelas atas status baru Kosovo. Filipina mengelak untuk mengakui kemerdekaan Kosovo karena hal itu akan memicu deklarasi serupa oleh kelompok Muslim yang menuntut kemerdekaan dari Manila di wilayah selatan kepulauan itu. "Kendati Filipina tidak menentang gagasan kemerdekaan bagi Kosovo, pihaknya lebih suka pada satu penyelesaian...dengan memperhitungkan prinsip-prinsip kedaulatan dan keutuhan wilayah yang disetujui secara internasional," kata Menlu Filipina Alberto Romulo sebagaimana dikutip Reuters. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, Pemerintah Indonesia masih menunggu pembahasan di DK PBB untuk menentukan sikap atas kemerdekaan Kosovo. "Kami masih terus memantau situasi yang berkembang, tidak hanya pemerintah pusat di Eropa namun juga sebagai anggota tidak tetap DK PBB," katanya dalam konferensi pers bersama Presiden Filandia Tarja Halonen. Yudhoyono mengatakan, Indonesia menghormati kedaulatan dan keutuhan teritorial sebuah negara, sekaligus menyadari situasi di Kosovo sebagai proses dekonstruktusi negara-negara pecahan Yugoslavia yang belum tuntas. Karena itu, Indonesia menilai harus ada jalan keluar atau pemecahan yang tepat untuk penyelesaian masalah ini. Sedangkan Wakil Tetap RI untuk PBB-New York Marty Natalegawa, kepada ANTARA, mengatakan, Indonesia memahami Kosovo sebagai kasus yang khas, yang merupakan bagian dari rangkaian perpecahan Yugoslavia dan menyatakan kemerdekaannya. Di saat yang sama, katanya, Indonesia menjunjung tinggi prinsip keutuhan wilayah dan kedaulatan negara seperti yang diamanatkan Piagam PBB Menurut mantan Dubes RI untuk Inggris itu, pemberian pengakuan terhadap deklarasi suatu kemerdekaan sebenarnya tidak harus dilakukan dengan segera. "Tidak ada keharusan bahwa deklarasi langsung didukung atau ditolak. Semua negara ingin mengkaji dengan betul-betul, sama seperti kita," katanya. Mengenai pro-kontra status kemerdekaan Kosovo, Direktur Kajian Politik Center for Indonesian National Policy Studies (CINAPS), Guspiabri Sumowigeno, mengatakan deklarasi kemerdekaan Kosovo akan memicu Perang Dingin antara Rusia serta Serbia dengan AS dan negara-negara Eropa. Momok separatisme Untuk RI, kemerdekaan Kosovo dinilai Guspi akan jadi preseden bagi negara kesatuan RI yang masih memiliki persoalan separatisme, begitu juga dengan negara lain yang menghadapi masalah separatisme. Guspi mengtakan, otoritas politik luar negeri Indonesia dapat mengambil posisi terbaik untuk mempertahankan kepentingan nasional vital, utamanya pada dua hal. Pertama, terjaminnya kepatuhan komunitas internasional pada prinsip hukum bagi negara kesatuan dalam menjaga integritas teritorialnya. Kedua, terpeliharanya kestabilan dan perdamaian dunia dengan konsensus antar "major powers" di PBB sebagai fundamennya. Dalam hal ini sejarah menunjukkan bahwa kesepakatan melalui konvensi kekuatan-kekuatan besar pasca-krisis besar atau perang adalah penentu dari status suatu wilayah. Jurang perbedaan yang lebar antara negara-negara Barat dengan Rusia, Serbia serta negara-negara kelompok netral tersebut boleh jadi akan memulai suatu babak baru "drama" tentang nasib Kosovo. Setelah Serbia mengancam menarik semua duta besarnya dari negara-negara yang memberikan pengakuan terhadap Kosovo, sejumlah negara netral menunjukkan sikap berhati-hati. Apalagi bagi negara yang punya ancaman separatisme, seperti Indonesia, yang sekarang ini bagai menghadapi tawaran untuk memakan atau tidak memakan buah simalakama. (*)

Oleh Oleh Gusti NC Aryani
Copyright © ANTARA 2008