Depok (ANTARA News) - Direktur Kajian Politik Center for Indonesian National Policy Studies (CINAPS), Guspiabri Sumowigeno, mengatakan deklarasi kemerdekaan Kosovo akan memicu Perang Dingin antara Rusia, Serbia dengan Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Eropa. "Kemerdekaan Kosovo akan memicu Perang Dingin," kata Guspiabri, ketika dihubungi ANTARA, menanggapi kemerdekaan Kosovo dari Serbia, Senin. Kosovo mendeklarasikan kemerdekaannya, Minggu, di ibukotanya Pristina. Deklarasi itu dibacakan oleh Perdana Menteri Kosovo, Hashim Thaci, pada sidang parlemen yang dihadiri 109 anggota. Sebanyak 90 persen penduduk Kosovo adalah etnik Albania dan Beograd sangat menentang pemisahan tersebut. Guspi menyesalkan langkah terburu-buru yang diambil pihak Barat untuk mengakui kemerdekaan Kosovo, karena bagaimanapun hal tersebut benar-benar tidak menghargai posisi Serbia dan Rusia. "Saya menyesalkan aksi unilateral dari pihak Barat, seharusnya persoalan Kosovo diselesaikan secara konsensus di Dewan Keamanan PBB," jelasnya. Guspiabri lebih lanjut mengatakan status Kosovo sebagai sebuah propinsi dari Serbia jelas berbeda dengan negara-negara bagian pecahan Yugoslavia lainnya yang telah berdiri sebagai negara, seperti Kroasia, Bosnia Herzegovina, Slovenia, Macedonia, Montenegro, dan Serbia itu sendiri. Mengenai sikap Indonesia, Guspi menyarankan agar pemerintah jangan terburu-buru dalam menyikapi kemerdekaan Kosovo, mengingat banyak hal yang belum tuntas soal status Kosovo. Bagaimanapun perlu diingat bahwa propinsi dari Serbia yang sesungguhnya tidak memiliki hak untuk melepaskan diri. Status Kosovo sebagai sebuah propinsi jelas berbeda dari negara bagian Yugoslavia. Guspi mengatakan kemerdekaan Kosovo akan jadi preseden bagi negara kesatuan RI yang masih memiliki persoalan separatisme, begitu juga dengan negara lain yang menghadapi masalah separatisme. Spanyol misalnya dengan gerakan separatis Basq. "Apa jadinya kalau separatisme di Spanyol secara sepihak kemudian ada negara lain yang mengakuinya," katanya. Guspi mengharapkan otoritas politik luar negeri Indonesia dapat mengambil posisi terbaik untuk mempertahankan kepentingan nasional vital, utamanya pada dua hal. Pertama, terjaminnya kepatuhan komunitas internasional pada prinsip hukum bagi negara kesatuan dalam menjaga integritas teritorialnya. Kedua, terpeliharanya kestabilan dan perdamaian dunia dengan konsensus antar "major powers" di PBB sebagai fundamennya. Dalam hal ini sejarah menunjukkan bahwa kesepakatan melalui konvensi kekuatan-kekuatan besar pasca sebuah krisis besar atau perang adalah penentu dari status suatu wilayah. Persoalan Kosovo, propinsi Republik Serbia, berkembang menjadi rumit semenjak warga keturunan Albania, melalui referendum yang dianggap ilegal di tahun 1991, menyatakan pemisahan diri, baik dari Federasi Yugoslavia maupun Republik Serbia yang kemudian menyulut perang berlarut-larut antara nasionalis Kosovo dan tentara Pemerintah Yugoslavia yang didominasi Serbia. Setelah Yugoslavia dianggap tak lagi eksis oleh masyarakat internasional, lanjut Guspi, di tahun 1992, Kosovo tetap dikuasai Serbia sampai masuknya NATO atas mandat PBB pada Januari 1999 guna menghentikan meluasnya proses "pembersishan etnis" yang gagal dicegah oleh Pemerintah Serbia. Intervensi militer NATO memaksa Serbia mundur dari Kosovo dan UN Mission in Kosovo (UNMIK) kemudian menjalankan kekuasaan administrasi dengan jaminan keamanan NATO melalui Commanded Kosovo Force (K-FOR), kecuali di wilayah berpopulasi etnis Serbia di utara Kosovo. (*)

Copyright © ANTARA 2008