Jakarta (ANTARA News) - Mantan Duta Besar RI untuk Malaysia, Roesdihardjo, melalui kuasa hukumnya membantah menyetujui kenaikan tarif pengurusan dokumen keimigrasian KBRI Kuala Lumpur, Malaysia. "Sama sekali ia tidak pernah menyetujui," kata kuasa hukum Roesdihardjo, Junimart Girsang setelah membacakan nota keberatan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu. Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa bahwa Roesdihardjo mendapat laporan dari Arihken Tarigan yang kala itu menjabat Kepala Bidang Imigrasi KBRI Kuala Lumpur, soal pemberlakuan SK Ganda dan bersepakat dengan Arihken untuk menerapkan tarif yang lebih tinggi kepada WNI yang mengurus dokumen keimigrasian. Junimart menolak dalil JPU tersebut. Menurut dia, kliennya justru menindak pihak-pihak yang menerapkan tarif pengurusan dokumen keimigrasian yang tidak sesuai aturan. Junimart juga menegaskan, kebijakan penerapan tarif lebih tinggi itu adalah kebijakan di bidang keimigrasian, yang kala itu dikepalai Arihken Tarigan. Arihken menjadi terdakwa II yang disidang bersama dengan Roesdihardjo. Ketika dikonfirmasi, Roesdiharjo menolak untuk berkomentar banyak. Ia hanya tersenyum sambil meninggalkan ruang sidang. "Silakan tanya kuasa hukum," kata mantan Kapolri itu. Dalam nota keberatan, tim kuasa hukum Roesdihardjo juga menyatakan surat dakwaan JPU harus dibatalkan karena tidak menguraikan tindak pidana yang didakwakan. Menurut tim kuasa hukum, JPU tidak menggambarkan secara gamblang tindakan Roesdihardjo dalam menyepakati kenaikan tarif keimigrasian. "Terdakwa I sama sekali tidak memiliki inisiatif dalam melakukan tindak pidana yang didakwakan," kata kuasa hukum Roesdihardjo, Warsito Sanyoto, membantah dakwaan JPU. Roesdihardjo didakwa merugikan negara 6,180 juta ringgit Malaysia (RM) atau setara Rp15,45 miliar dalam kasus dugaan korupsi pungutan liar di KBRI Kuala Lumpur, Malaysia. Roesdihardjo yang didakwa bersama dengan Mantan Kepala Bidang Imigrasi KBRI Kuala Lumpur, Arihken Tarigan, dinyatakan melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain dari pemberlakuan SK Ganda untuk kepengurusan dokumen keimigrasian di KBRI Kuala Lumpur. Selama menjabat Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Malaysia, Roesdihardjo didakwa setiap bulan menerima 30.000 hingga 40.000 RM atau seluruhnya sebesar 660.000 RM hingga 880.000 RM atau setara Rp1,65 miliar sampai Rp2,2 miliar. Sedangkan Arihken dan para pegawai KBRI Kuala Lumpur lainnya didakwa menerima 5,3 juta RM atau setara Rp13,25 miliar. Uang yang diterima Roesdihardjo dan Arihken itu berasal dari pemberlakuan SK Ganda No021/SK-DB/0799 tanggal 20 Juli 1999 yang memberlakukan tarif yang lebih tinggi dari yang sebenarnya untuk biaya kepengurusan dokumen imigrasi. Tarif yang ditarik dari para WNI yang mengurus dokumen keimigrasian ditentukan lebih tinggi sedangkan yang disetorkan ke kas negara sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah yang lebih rendah sesuai dengan tarif aslinya. Roesdihardjo, menurut JPU Suwarji, pada awal masa tugasnya Januari 2004 mendapat laporan dari Arihken soal pemberlakuan SK Ganda tersebut dan bersepakat dengan Arihken untuk menerapkan tarif yang lebih tinggi dari para WNI yang mengurus dokumen keimigrasian. Dalam dakwaan pertama, Roesdihardjo dan Arihken dijerat dengan pasal 2 ayat 1 jo pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara. Dalam dakwaan kedua, keduanya dijerat dengan pasal 3 UU yang sama dengan tuduhan menyalahgunakan wewenang dengan ancaman maksimal hukuman penjara seumur hidup.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008