Kediri (ANTARA News) - Serangkaian bencana alam yang terjadi susul-menyusul belakangan ini tidak hanya menuntut tanggungjawab dari pihak pemerintah, tapi kalangan ulama juga diharapkan turut berperan aktif dalam penyelamatan lingkungan. "Dalam setiap kali terjadi bencana alam, yang pertama harus bertanggungjawab adalah pemerintah. Tapi jangan lupa, kalangan ulama juga harus berperan aktif menyelamatkan lingkungan," kata Dosen Universitas Airlangga Surabaya, Dr Suparto Wijoyo,di Kediri, Sabtu. Dalam talkshow bertemakan "Cukai Rokok dan Penyelamatan Lingkungan" yang diselenggarakan PWI Kediri dalam peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2008, itu dia mengatakan, peran ulama sangat penting dalam memerangi kejahatan lingkungan yang terus-menerus terjadi selama beberapa tahun terakhir. "Kalau bisa MUI (Majelis Ulama Indonesia) jangan hanya mengeluarkan fatwa terhadap ajaran sesat saja, tapi juga perlu memberikan label sesat kepada para pelaku kejahatan lingkungan," kata anggota Tim Hukum Kementerian Negara Lingkungan Hidup itu. Ia memaparkan, bencana alam yang melanda hampir setiap daerah di Indonesia selama beberapa tahun terakhir ini bukan murni faktor alam, tapi karena ulah manusia. "Selama ini pemerintah menganggap, bencana banjir dan tanah longsor akibat curah hujan yang sangat tinggi. Padahal sejak zaman Nabi Adam sampai sekarang namanya hujan yang begini-begini, tapi mengapa sekarang terjadi bencana yang begitu dahsyat," kata Suparto. Oleh sebab itu, alumnus Fakultas Hukum Universitas Darul `Ulum Jombang itu meminta, semua pihak tidak hanya menyalahkan alam, apalagi menganggap bencana sebagai takdir semata. "Tapi lebih dari itu, kita harus ingat, bahwa hujan adalah nikmat bukan laknat dan hujan juga merupakan berkah bukan prahara. Hanya sekarang mengapa terjadi banjir, itu karena manusianya tidak bisa mengelola alam," katanya. Dalam kesempatan itu, Suparto juga menyoroti Undang-undang nomor 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang disahkan pada 26 April 2007 justru lebih memberikan peluang bagi pemerintah untuk mendapatkan kucuran dana proyek pascabencana ketimbang upaya pencegahan. Apalagi sampai sekarang, lanjut dia, masih banyak pemerintah di daerah yang sama sekali tidak menyisihkan anggaran untuk penyelamatan lingkungan yang merupakan bagian dari upaya penanggulangan bencana alam. "Dan yang seharusnya diatur dalam UU 24/2007 adalah kewajiban kepala daerah menyampaikan LPJ (laporan pertanggungjawaban) baik tahunan maupun akhir masa jabatan yang secara spesifik bernomenklatur LPJ Lingkungan," katanya menambahkan. Sementara itu dalam kesempatan sebelumnya, Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Kediri, Bambang Basuki Hanugerah mengatakan, pihaknya berencana akan mengalokasikan dana untuk penyelamatan lingkungan melalui dana bagi hasil cukai rokok. "Hanya sampai sekarang kami belum tahu, berapa pastinya bagi hasil cukai rokok yang kami dapatkan nanti karena sampai sekarang Menteri Keuangan masih belum mengeluarkan peraturan sebagai tindak lanjut dari Undang-undang 39/2007 tentang bagi hasil cukai," katanya. Dalam APBD Kota Kediri tahun 2008, anggaran untuk penyelamatan lingkungan hanya mencapai Rp13 miliar. Padahal menurut Bambang Basuki, tingkat kerusakan lingkungan di kota berpenduduk 250 ribu jiwa lebih itu sudah sangat parah, terutama yang diakibatkan oleh limbah industri dan polusi udara akibat asap kendaraan bermotor.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008