Jakarta (ANTARA News) - Iran ingin memperkuat kerjasama pertukaran berita dengan Indonesia, khususnya antara kantor berita Iran IRNA dengan kantor berita ANTARA untuk membendung berita bernada buruk dari media massa Barat. "Tujuan pertukaran berita itu adalah memperoleh berita dari tangan pertama, baik dari Indonesia maupun Iran," kata Dutabesar Iran untuk Indonesia Behrooz Kamalvandi saat bertemu dengan Direktur Utama Perum LKBN ANTARA Ahmad Mukhlis Yusuf di Jakarta hari Kamis. Menurut dia, media massa Barat, yang memberitakan tentang Iran, pada umumnya bernada buruk dan merugikan, sehingga pertukaran berita antar-kantor berita kedua negara itu diharapkan membendung berita buruk tersebut. Sementara itu, Mukhlis menyambut permintaan Dutabesar Behrooz tersebut dan menjelaskan bahwa IRNA dan ANTARA pada bulan lalu menandatangani naskah persepahaman untuk pertukaran berita. Mukhlis, yang juga ketua Organisasi Kantor Berita Asia Pasifik (OANA), lebih lanjut menjelaskan bahwa ANTARA sedang menyiapkan laman khusus OANA, yang akan menampung berita dari ke-42 negara anggota organisasi itu. "Jadi, semua anggota OANA dapat mengirim berita dari negaranya dan mengutip berita dari negara anggota lain," katanya. Di sisi lain, Behrooz juga menyinggung program nuklir Iran, yang dipersoalkan negara Barat. "Negara Barat, terutama Amerika Serikat, ingin menang sendiri dan menuduh Iran membuat senjata nuklir. Padahal, program nuklir Iran semata-mata untuk tujuan damai, yaitu untuk tenaga listrik," katanya merujuk pada rencana pemberlakuan hukuman baru Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa terhadap Teheran. "Tuduhan terhadap Iran itu merupakan bagian dari upaya intimidasi negara Barat terhadap Iran. Namun, Iran tidak akan gentar dengan intimidasi semacam itu," kata Behrooz tegas. Ia menceritakan latar belakang teknologi nuklir Iran, yang dimulai pada 1956 atas dukungan Amerika Serikat dengan mendirikan Pusat Atom Universitas Teheran. Disebutkannya, presiden Amerika Serikat ketika itu, Dwight D Eisenhower, menyetujui memasok pembangkit nuklir berdaya lima kilowat itu. Menurut dia, sejak itu, Amerika Serikat secara teratur memasok Iran dengan perangkat sel panas untuk memisahkan uranium. "Namun, program nuklir Iran mulai dipersoalkan setelah kemenangan Revolusi Islam pada 1979, dengan tuduhan bahwa Iran mengembangkan senjata nuklir," katanya. "Tuduhan itu sama sekali tidak berdasar dan omong kosong belaka, yang bertujuan menghambat kemajuan teknologi Iran," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008