Jakarta (ANTARA News) - Seorang polisi berpangkat Bripka, yang sudah dipecat, Saiful Syamsuddin nekad memaki-maki Kapolri Jenderal Pol Sutanto saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III (bidang hukum) DPR di Gedung DPR RI di Jakarta, Kamis. "Tangkap lima jenderal itu," kata Saiful dengan lantang sambil menunjuk ke Kapolri yang saat itu sedang menjawab pertanyaan salah satu anggota Komisi III. Teriakan lantang dari atas balkon itu membuat suasana sidang terhenti dan semua yang hadir menoleh ke arah Saiful. "Saran dan pendapat itu dibenarkan oleh undang-undang," teriak Saiful dengan lebih lantang. Suasana pun menjadi gaduh sehingga membuat sejumlah anggota polisi berusaha meringkusnya. Akan tetapi, Saiful justru meronta-ronta sambil memprotes tiga polisi yang berusaha mengamankannya. "Anda tidak bisa menangkap saya dan Anda harus melindungi rakyat," katanya. "Saya siap mati di ini demi membela kebenaran," teriak Saiful yang berpakaian setelan jas hitam berdasi merah. Ketua Komisi III Trimedya Panjaitan yang melihat upaya penangkapan Saiful berteriak "Hei, jangan ada kekerasan disini. Mana Pamdal (petugas keamanan dalam)". Akhirnya, Saiful diturunkan dari balkon dengan diapit petugas Kamdal yang didampingi beberapa polisi. Di bawah, ia digiring ke luar gedung DPR dan dibawa ke posko keamanan DPR. "Bawa dia ke posko," kata seorang polisi untuk memberi komando kepada petugas yang mengapit Saiful. Kasus Tanah Yang dimaksud Saiful dengan lima jenderal adalah mantan Kapolri Jenderal Bimantoro, mantan Kapolri Jenderal Dai Bachtiar, mantan Kapolda Aceh Irjen Bachrumsyah, mantan Deputi Logistik Polri Irjen Heru Susanto dan Kapolda Aceh Irjen Pol Riswaman. Saiful menuduh kelima jenderal itu bertanggungjawab atas penyerobotan tanah miliknya seluas 10 hektare di Kabupaten Aceh Utara yang sejak 1996 dijadikan sebagai markas Brimob. Tahun 1996 lalu, Bahrumsyah pernah menugasi Saiful yang saat itu berpangkat Bripka untuk mengerjakan proyek Polri di Aceh Utara dan Lhokseumawe sehingga ia meninggalkan tugas sebagai anggota polisi. Namun, tiba-tiba, Saiful malan ditangkap atas tuduhan desersi sehingga ia dipecat. Kasus 10 hektare tanah dan pemecatan Saiful itu pun dilaporkan ke Kapolri, presiden dan berbagai lembaga tinggi negara termasuk departemen terkait di Jakarta. Saiful tetap meminta agar Polri membayar 10 hektare itu sesuai kesepatan antara Kapolda Aceh saat dijabat oleh Kol Pol Suwahyu dengan PT Banda Kersa pada tahun 1996. Saiful merupakan pemilik PT Banda Kersa. Dalam perjanjian itu, PT Banda akan menghibahkan tanah 10 hektere untuk Polri jika proyek markas Brimob dikerjakan PT Banda namun jika dikerjakan pihak lain, tanah harus dibeli seharga Rp25 miliar. Namun, proyek markas Brimob malah dikerjakan oleh empat kontraktor lain sedangkan PT Banda tidak dapat apa-apa. Polri menganggap tanah 10 hektare itu bukan milik PT Banda tapi milik adat. Di sisi lain, empat kontraktor markas Brimob juga telah membeli tahan 10 hektare itu dan dihibahkan ke Polri. Saiful protes dan untuk meredam protes itu, Polda Aceh meminta Saiful mengerjakan dua proyek Polri di Aceh Utara dan Lhokseumawe. Selama mengerjakan dua proyek itu, Saiful dianggap disersi sehingga dipecat dengan tidak hormat. Menanggapi pengaduan Saiful, Divisi Pembinaan Hukum Polri telah mengeluarkan saran dan pendapat Kapolri antara lain Polri harus membayar tanah atau diberi proyek yang senilai. "Saran dan pendapat itu sah sesuai UU," kata Saiful.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008