Karanganyar (ANTARA News) - Pilihan Wito Hastono, Manto Tugiman, dan Harno Wiarso menjadi juru rawat makam raja-raja Mangkunegaran, bagi kebanyakan orang tentu tidak masuk akal. Apalagi jika melihat imbalan yang diterima dari Keraton Mangkunegaran yang hanya sepertigapuluh upah tukang batu. Kalau tukang batu per harinya dibayar Rp30.000 hingga Rp50.000, Wito dan rekannya itu sebulan hanya digaji sebesar upah sehari tukang batu. Wito Hastono (68), juru kunci di Makam Astana Mangadeg, tempat Raja Mangkunegara I, II, dan III dikebumikan, hanya bergaji Rp35 ribu per bulan, padahal ayah empat anak ini sudah mengabdi sekitar 40 tahun. Wito yang mendapat gelar Mas Ngabei ini tidak pernah mengeluh kekurangan pangan. "Bisa mengabdi untuk Raja itu berkah. Saya tidak punya sawah atau pekerjaan lain, tetapi saya tidak merasa pernah kekurangan," katanya ketika ditemui di Kantor Pengelola Makam Astana Mangadeg, Desa Girilayu, Kecamatan Matesih, Karanganyar, Jateng. Wito bersama 21 pegawai di makam ini mengaku rezeki datang sendiri karena dengan prinsip hidup "semeleh" (pasrah), ia selalu merasa apa yang diterima selalu cukup untuk menghidupi diri dan keluarganya. Makam Astana Mangadeg yang bersebelahan dengan Makam Astana Giribangun, tempat Ibu Tien Soeharto dikebumikam, memang banyak dikunjungi peziarah. Wito dan para pegawai makam tidak pernah meminta sesuatu dari peziarah, namun mereka menerima sesuatu dari peziarah sebagai ungkapan rasa terima kasih atau persaudaraan. Rezeki besar pernah diterima para pegawai makam itu ketika mantan Presiden Soeharto berziarah ke Astana Giribangun, tetapi ini tentu tidak bisa dijadikan andalan. Ia mengaku pernah mendapat uang Rp500 ribu dari Keluarga Cendana, selain bingkisan makanan dan pakaian. Tetapi, bagi Wito dan abdi dalem Keraton Mangkunegara lainnya, rezeki terbesar sebenarnya adalah bisa menjadi bagian dari kerajaan itu sendiri, meskipun hanya sebagai juru kunci makam. "Kelak, anak saya juga saya minta menjadi abdi dalem, setidaknya meneruskan apa yang sudah saya dan orangtua saya lakukan menjadi juru rawat makam," kata Manto Tugiman (50), juru rawat Makam Girilayu, sekitar 2,5 kilometer timur Makam Astana Mangadeg. Di Makam Girilayu ini, Mangkunegara IV, V, VII, dan VIII dimakamkan, sedangkan Mangkunegara VI dikebumikan di Solo. Tugiman meneruskan profesi bapaknya menjadi juru rawat Makam Girilayu ini malah hanya bergaji Rp30 ribu/bulan, namun tidak ada sebersit keinginan darinya untuk melepaskan profesi ini. "Saya bangga bisa mengabdi kepada Raja," kata Tugiman ketika ditemui di sela membersihkan kawasan makam. "Ayem" Berbeda dengan Wito, Tugiman masih memiliki lahan pertanian yang bisa menjadi andalan hidup. Ayah dua anak ini memang tergolong orang baru. Tugiman "baru" 10 tahun bekerja di Astana Mangadeg. Karena itu honorarium yang diterimanya "jauh" di bawah pimpinan juru rawat, Ahmad Ismail, yang menerima Rp57.500 per bulan. Meskipun demikian, kewajiban para juru rawat makam raja dan keluarganya tidaklah ringan. Selain melayani tetamu yang datang, mereka juga harus membersihkan kawasan makam. Mereka juga dikenai jam kerja bergilir, sebab lokasi makam ini harus ada yang menjaganya, 24 jam. Keraton Mangkunegaran memperkerjakan 12 pegawai untuk merawat Makam Girilayu. Seperti halnya perusahaan modern, untuk merekrut juru rawat makam raja-raja ini juga berlaku seleksi. Harno Wiarso (43), juru rawat Makam Girilayu mengatakan, ketika ada lowongan juru makam di Girilayu, ia harus menyisihkan dua pelamar lain. "Dari tiga pelamar, saya yang diterima. Saya tidak tahu, mengapa saya yang diterima," katanya dalam bahasa Jawa halus. Sudah hampir empat tahun Harno mengabdi sebagai juru rawat makam, namun tidak ada keinginan sedikit pun untuk melepaskan status ini meskipun saat ini ia hanya menerima honorarium Rp20 ribu/bulan. "Saya merasa `ayem` (tenteram, tenang, red) bisa bekerja di sini. Rezeki selalu saja ada dari Yang Maha Kuasa," kata Harno yang diiyakan Tugiman. Logika Wito, Tugiman, Harno, dan abdi dalem lainnya tentu sulit dicerna oleh manusia zaman sekarang, yang mengukur tindakan atau pengorbanan dari besaran imbalan uang (materi). Dari cara berpikir dan hidup mereka dapat direnungkan bahwa sesungguhnya dalam bekerja dan berkarya ada nilai-nilai suci yang diyakini akan membawa rasa "ayem". Itu pula yang menyebabkan abdi dalem tidak pernah mengeluhkan kecilnya upah, apalagi sampai berdemo menuntut penyetaraan upah minimum kabupaten (UMK). Hari-hari ini kawasan perbukitan di Desa Girilayu banyak orang penting hilir-mudik meninjau Makam Astana Giribangun. "Kula donga, mugi Pak Harto sageta dangan," tutur Wito Hastono dalam bahasa Jawa halus yang artinya "Saya berdoa, semoga Pak Harto sembuh."(*)

Oleh Oleh Achmad Zaenal M dan Herna
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008