Kediri (ANTARA News) - Mantan tahanan politik (Tapol) dalam kasus penghinaan terhadap Presiden Soeharto di tahun 1993, Munasir Huda, mengaku bisa memaafkan segala kesalahan penguasa Orde Baru itu yang kini dalam kondisi kritis di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta. "Sebagai sesama manusia, saya bisa memaafkan kesalahannya dan mudah-mudahan kesehatannya segera kembali pulih," katanya saat ditemui di kantor Aliansi Pembelaan Hak Rakyat untuk Keadilan (Alha Raka) di Jalan Kapten Tandean Kediri, Jawa Timur, Sabtu petang. Namun demikian, Huda mendesak kepada aparat penegak hukum, untuk tetap melanjutkan proses hukum yang dihadapi Presiden Kedua RI yang berkuasa hingga 32 tahun itu. "Jangan sampai proses hukum dihentikan, karena kalau sampai itu terjadi, justru akan menimbulkan preseden buruk dalam penegakan hukum di Indonesia," kata Koordinator Program Alha Raka itu. Ia juga mengingatkan aparat penegak hukum untuk terus mengusut tuntas kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh orang-orang di sekitar Soeharto. "Selama ini masih banyak orang-orang di sekitar Soeharto selain pihak keluarga yang masih belum tersentuh oleh hukum. Padahal mereka dulu juga menikmati aset-aset negara untuk kepentingan dirinya sendiri," katanya menambahkan. Munasir Huda adalah satu dari 21 mahasiswa yang ditahan pada 14 Desember 1993 lalu setelah berunjukrasa di gedung DPR untuk mendesak MPR segera menggelar Sidang Istimewa guna meminta pertanggungjawaban Presiden Soeharto terkait peristiwa penembakan warga sipil dalam pembebasan lahan Waduk Nipah, Madura. "Sebagai penguasa tertinggi militer, Presiden Soeharto harus bertanggungjawab atas penembakan yang dilakukan oknum TNI terhadap warga sipil yang mempertahankan haknya di Nipah," katanya menjelaskan Saat mendekam di Rutan Salemba Jakarta setelah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis delapan bulan penjara karena melanggar pasal 134 KUHP tentang penghinaan terhadap kepala negara, Munasir Huda tercatat sebagai mahasiswa semester III Fakultas Teknik Universitas Darul `Ulum (Undar) Jombang. Selain dia, ada empat rekannya dari Undar, enam dari Universitas Nasional Jakarta, dua dari Universitas Pakuan Bogor, dan beberapa aktifis perguruan terkemuka lainnya, seperti ITN Malang, Unibraw, Unair, ITS, IAIN Sunan Kalijaga, dan ISTN Jakarta divonis delapan hingga sepuluh bulan dalam aksi tersebut. Ia tidak bisa melupakan peristiwa penggerebekan oleh ratusan personel TNI-AD di ruang lobi DPR saat sedang bernegosiasi untuk bertemu dengan Sabam Sirait, pimpinan DPR waktu itu. "Sementara ratusan pengunjukrasa lainnya yang berada di luar ruangan, lari tunggang-langgang meninggalkan gedung DPR untuk menyelamatkan diri. Sedang saya dan 20 aktifis lainnya yang menunggu pertemuan dengan Ketua DPR langsung diringkuas dan diangkut mobil kijang menuju ke Mapolres Jakarta Pusat," kata Huda mengenang. Majelis hakim PN Jakarta Pusat menyatakan, ke-21 mahasiswa itu bersalah karena kata "seret" dalam spanduk yang mereka bawa bertuliskan "Seret Soeharto ke Sidang Istimewa MPR-RI" merupakan kalimat penghinaan terhadap kepala negara. Beberapa saat setelah vonis pengadilan, Wapres Try Sutrisno mendatangi kampus Undar untuk memberikan penjelasan kepada civitas akademika terkait penahanan lima mahasiswa Undar tersebut. "Waktu itu Try Sutrisno hanya meminta rektor dan dosen untuk terus memberikan bimbingan kepada kami, tapi untuk proses hukumnya dia menyatakan, tidak bisa banyak membantu," kata Huda menceritakan persoalan hukum yang dihadapinya pada saat itu. Ia dan beberapa rekannya bebas pada 19 Agustus 1994 karena masa tahanannya telah habis sebelum Mahkamah Agung mengeluarkan putusan kasasi setelah putusan banding justru menguatkan putusan PN Jakarta Pusat.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008