London (ANTARA News) - Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah Inggris Raya/United Kingdom (PCIM UK) bekerjasama dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) London, akhir pekan lalu mengelar bedah buku "Menyandera Timur Tengah" yang ditulis pakar pengamat Timur Tengah, Riza Sihbudi, yang juga Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI London. Acara bedah buku yang merupakan kegiatan perdana PCIM UK yang dideklarasikan Februari lalu dengan Ketua Umum PCIM UK, Saharman Gea, mahasiswa PhD di Queens Mary University of London (QMUL) bertujuan memperkaya pemahaman dan kajian tentang Timur Tengah dimana Indonesia perlu belajar dari AS dalam 'menundukkan' kawasan tersebut melalui kajian dan studi. Sekretaris PCIM UK, Muhammad Izzul Haq, menyebutkan bahwa acara yang menghadirkan dua pembicara Syahrul Hidayat dari University of Exeter dan Arianto Sangaji dari University of Birmingham dengan moderator Joko Susanto dari LSE sepakat Timur Tengah merupakan kawasan yang penuh dengan kompleksitas dan kontradiksi. Dalam bedah itu disimpulkan salah satu penyebab terjadinya konflik dan kekerasan yang tidak habis-habisnya memenuhi pemberitaan media-media internasional dan nasional itu adalah adanya kepentingan yang kuat dari hegemoni Amerika Serikat yang ingin mengontrol sumber daya dan konfigurasi politik kawasan itu. Bedah buku yang dihadiri sekitar 40 mahasiswa Indonesia dari berbagai kota di Inggris diantaranya dari Glasgow, Birmingham, Exeter, dan Brighton, menilai Amerika ingin memperoleh pasokan minyak dengan harga murah dan proses perdamaian Israel-Palestina yang sesuai dengan definisi negara adi daya itu. Untuk alasan itulah Amerika memaksakan perubahan rejim di Afghanistan dan Irak. Dalam bukunya itu, penulis menekankan politik kekuasaan hegemonik di Timur Tengah itu pada dasarnya melanggar hukum internasional dan nilai-nilai universal. Salah satu buktinya tiadanya persetujuan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan klaim Irak memiliki senjata pemusnah masal sama sekali tidak berdasar. Dalam pengamatan penulis Amerika pada dasarnya menutupi motif-motif terselubung, baik ambisi pribadi presiden Bush maupun kepentingan ekonomi dibalik kebijakan-kebijakan Amerika. Irak dan Afghanistan menjadi menjadi contoh nyata dari kamuflase itu dengan memaksimalkan isu terorisme untuk memaksakan kepentingannya. Menurut Syahrul Hidayat yang sedang menempuh studi Arab and Islamic Studies di University of Exeter menunjukkan adanya kegelisahan sekaligus kemarahan seorang intelektual terhadap perilaku Amerika Serikat. Posisi penulis yang dengan tegas menelanjangi motif sebenarnya dari Amerika itu menjadi salah satu ciri khas yang dapat ditangkap dari buku itu, ujarnya. Perilaku itu demikian terbukanya mempertontonkan politik otot tanpa sama sekali mau mengerti karakter dan konsekuensi dari kebijakan-kebijakannya yang membuat sekian banyak pemerhati Timur Tengah mengambil sikap tegas seperti yang dilakukan penulis. Posisi itu muncul setelah penulis menampilkan analisa mengenai dinamika politik di kawasan itu dalam kaitannya dengan demokrasi, fundamentalisme, revolusi dan penjelasan mengenai beberapa politik domestik beberapa negara yang penting. Dalam pandangan Syahrul yang sedang menempuh PhD tentang Middle East di Exeter, Timur Tengah telah menjadi sebuah “intellectual headache” tersendiri terkait dengan kompleksitas permasalahan yang ada didalamnya. Tidak saja sebuah tragedi kemanusiaan yang ada namun tragedy peradaban, ujarnya. Sedangkan, menurut Arianto yang mendalami studi tentang konflik, Timur Tengah memiliki keterkaitan erat dengan apa yang terjadi di Indonesia seperti isu konflik dan terorisme. Buku itu dipandangnya sebagai buku pertama yang menjelaskan Timur Tengah secara lengkap dan tarikan antara isu mengenai konflik identitas (Islam-Kristen) ataukah motif politik ekonomi (ekspansi kapitalisme) yang melatarbelakangi konflik di Timur Tengah menjadi narasi yang perlu ditelaah dari buku ini. Seusai sesi penyampaian materi oleh dua pembicara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang lebih banyak berisi pandangan atau pendapat dari audiens mengenai Timur Tengah. Poppy Ismalina dari UGM yang belajar di Glasgow mengemukakan perihal motif politik ekonomi dibalik keruwetan Timur Tengah, sedangkan Amich al Humami dari Brighton lebih melihat faktor internal seperti tribalisme Arab menjadi sebab penting kenapa Timur Tengah masih terus didera konflik. Sedangkan Andri Rosadi dengan menyitir ucapan Ibnu Khaldun mengatakan bahwa hanya Nabi-lah yang bisa menyatukan bangsa Arab yang memang punya bakat berpecah belah. Diskusi sepakat bahwa Timur Tengah membutuhkan banyak kajian mengingat hubungannya yang signifikan dengan Indonesia, tidak hanya konsekuensi dari politik global Amerika tetapi juga relasi identitas yang kuat dengan masyarakat di kawasan itu. Sayangnya, relasi yang lebih kuat dalam aspek politik dan ekonomi belumlah terlalu signifikan. Relatif kosongnya karya-karya jernih dan objektif dari pemerhati Indonesia dan menyediakan informasi untuk masyarakat diyakini pula menjadi salah satu penyebab lemahnya relasi politik dan ekonomi itu. Buku Riza Sihbudi mengisi ruang kosong ini dan diharapkan menjadi perangsang bagi masyarakat Indonesia untuk melanjutkan kajian-kajian Timur Tengah yang lebih kuat. Sebelum ditutup, sebuah puisi refleksi dibacakan Wahyu dari London dan dilanjutkan sesi tanda tangan oleh Riza Sihbudi. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007