Medan (ANTARA News) - Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Miranda S Goeltom mengatakan, fenomena carry trade akan selalu terus terjadi selama ada perbedaan suku bunga yang cukup atraktif. "Fenomena ini akan terus terjadi selama ada perbedaan suku bunga yang cukup atraktif," kata Miranda di Medan, Rabu, sebelum kunjungannya ke Pulau Nias Sumatera Utara. Carry trade yaitu perilaku pelaku pasar yang meminjam aset dalam mata uang negara yang memberi bunga lebih kecil untuk kemudian dialihkan ke mata uang negara yang memiliki bunga lebih besar. Aksi ini akan diikuti dengan masuk dananya segar (capital inflow) ke negara yang imbal hasilnya tinggi. Miranda mengakui, penurunan suku bunga The Fed pada beberapa waktu ini telah mendorong terjadinya carry trade dari AS ke negara lain termasuk Indonesia. "Carry trade itu fenomena yang dialami oleh negara yang memang tingkat suku bunganya masih dianggap jauh atraktif," katanya. Menurut dia, respon yang seharusnya diberikan Indonesia terhadap fenomena carry trade adalah dengan meningkatkan daya tarik investasi di sektor riil. Juga langkah mendiversifikasi instrumen investasi yang aman dan nyaman untuk kemudian mendorong arus dana yang cukup besar itu masuk ke sektor riil dan investasi langsung. "Kalau dana sudah masuk ke situ tentu akan sulit terjadi penarikan besar-besaran suatu ketika dan sulit untuk dipindahkan," katanya. Ia mencontohkan, kalau orang sudah bangun pabrik, tidak akan mungkin langsung dengan gampang menjual pabriknya. Jadi tidak mudah berpindah dalam waktu beberapa detik saja. "Kalau investasi di surat berharga atau saham, dengan mudah dia pindah," katanya. Menurut Miranda, bagi negara seperti Indonesia harus bisa mendiversifikasi transaksi dagang supaya jangan terlalu tergantung pada negara-negara yang perekonomiannya sedang melambat. "Asia secara keseluruhan dulu sangat tergantung pada ekonomi AS, ekspornya hampir mendekati 35-38 persen, sekarang 25 persennya. Berarti jika ada slow down di AS tidak terlalu mengkhawatirkan sebanyak dulu," katanya. Namun demikian AS tetap merupakan perekonomian terbesar di dunia sehingga yang terjadi di sana, pasti akan ada dampaknya ke negara lain termasuk Indonesia. "Dampak kebijakan dan kejadian di sana tetap harus diwaspadai," kata Miranda. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007