Batam (ANTARA) - Anggota VI Badan Pemeriksa Keuangan RI, Harry Azhar Azis menyatakan, penilaian kinerja keuangan lembaga pemerintah tidak hanya dilihat dari laporannya saja, melainkan juga pada manfaat dari penggunaan anggarannya seperti peningkatan kesejahteraan di masyarakat..

"Tidak dari opini WTP saja, tapi bagaimana penggunaan anggaran itu manfaatnya dirasakan masyarakat, ada peningkatan kesejahteraan di masyarakat," kata Harry Azhar Azis di Batam, Kepulauan Riau, Senin.

Menurut dia, pada akhirnya, predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) yang dilekatkan pada laporan keuangan hanya menjadi standar minimum dalam sebuah audit lembaga pemerintah.

Selebihnya, BPK akan mengukur manfaat anggaran dan keuangan yang dikelola lembaga pemerintah itu dalam meningkatkan kesejahteraan rakyatnya.

Ia menyebutkan empat indikator untuk menyimpulkan kesejahteraan rakyat sebagai tolak ukur keberhasilan pengelolaan anggaran, yaitu angka pengangguran, angka kemiskinan, gini ratio, dan indeks pembangunan manusia (IPM).

Jika selama kepala daerah menjabat, empat angka indikator itu berkurang, maka akan dianggap berhasil.

"Misalnya, pada awal kepala daerah menjabat, angka penganggurannya 4, kemudian di akhir masa jabatannya meningkat menjadi 7, maka saya akan menganggap pemerintahannya gagal," kata Harry yang juga guru besar di Universitas Airlangga (Unair).

Dan untuk mendorong pemerintah daerah melakukan pengeloloaan anggaran yang baik dengan meraih predikat WTP serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka ia mengusulkan pemberian insentif dari pemerintah pusat.

Dalam kesempatan itu, pria kelahiran Kota Tanjungpinang menjabarkan kondisi kesejahteraan Kepri, sebagai indikator keberhasilan pemerintah daerah.

Berdasarkan data BPS, IPM Kepri 2018 mencapai 74,45, di atas nasional 71,39. Gini ratio Kepri 0,359, juga lebih baik dibandingkan nasional sebesar 0,389.

Angka kemiskinan Kepri pun membaik menjadi 5,83 persen, di bawah nasional yang mencapai 9,82 persen.

Namun, angka pengangguran Kepri 7,12 persen, di atas angka nasional yang hanya 5,3 persen.

"Artinya, peningkatan yang terjadi belum mampu menyerap banyak tenaga kerja, karena banyak yang menganggur," kata peraih gelar Doktor dari Oklahoma State University, AS.

Pewarta: Yuniati Jannatun Naim
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019