Sapporo (ANTARA News) - KBRI Tokyo sedang mengusut praktik jual beli paspor dinas yang diduga biasa terjadi di kalangan warga Indonesia, khususnya di antara pekerja yang melanggar ketentuan izin tinggal atau overstay, karena berpotensi mengganggu hubungan kedua negara, Indonesia dan Jepang. Hal tersebut terungkap dalam kegiatan sosialisasi UU kewarganegaraan yang dilakukan pihak KBRI Tokyo di kota Sapporo, Provinsi Hokkaido, Sabtu. Kepala Fungsi Konsuler KBRI Tokyo Amir Radjab Harahap mengemukakan, KBRI Tokyo menemukan kegiatan terlarang tersebut setelah bekerja sama dengan pihak kepolisian dan Imigrasi Jepang. Praktik jual beli itu bahkan juga menyangkut paspor hijau. "Saat ini sedang diusut intensif karena bisa merusak nama baik pejabat atau pegawai pemerintah yang sedang menjalankan tugasnya di luar negeri," kata Amir lagi. Paspor dinas merupakan sebutan paspor untuk bagi pejabat negara dan pegawai pemerintahan lainnya. Sedangkan paspor hijau untuk warga kebanyakan dan paspor bersampul hitam khusus bagi kalangan diplomat. Bersama Amir juga hadir Atase Imigrasi KBRI Tokyo Mirza Iskandar, dan sejumlah staf KBRI lainnya. Sosialisasi berlangsung di Universitas Hokkaido dan dihadiri sekitar 85 warga yang kebanyakan adalah mahasiswa pascasarjana dan berasal dari berbagai instansi pemerintah lainnya. "Para pemegang paspor dinas ini diminta lebih berhati-hati mengingat dampaknya yang cukup besar terhadap citra Indonesia. Jika mengalami kehilangan atau kerusakan lainnya perlu melaporkan secepatnya," ujar Amir lagi. KBRI Tokyo juga sudah berkoordinasi dengan Jakarta, mengingat paspor dinas hanya dikeluarkan oleh Deplu berdasarkan permintaan dari instansi pemerintah lainnya. Ia menengarai praktik itu marak ditemukan di kota-kota besar di Tokyo dimana banyak pekerja Indonesia dan tidak memiliki paspor dan ijin tinggal yang sudah kadaluwarsa. Pekerja itu pun kemudian mencari berbagai cara untuk tetap tinggal di Jepang, termasuk salah satuya dengan menggunakan dokumen "aspal" asli tetapi palsu, yaitu dengan data yang betul, namun foto pemegangnya diganti dengan foto diri si pekerja tersebut. "Sepertinya ada sindikatnya di kalangan warga Indonesia sendiri. Harganya pun cukup mahal, namun nampaknya tidak menjadi masalah karena diperlukan untuk memperoleh pekerjaan di Jepang," ujarnya. Sementara itu, Atase Imigrasi Mirza Iskandar menjelaskan, temuan itu diperoleh setelah KBRI Tokyo aktif menggelar serangkaian aksi kunjungan ke lokasi-lokasi dimana WNI tinggal, sekaligus untuk memberikan sosialisasi mengenai UU kewarganegaraan yang baru, UU No.12/2006, serta kegiatan perlindungan WNI. "Kami akan semakin aktif melakukan kunjungan, mengingat pihak Jepang juga giat memperketat aturan imigrasinya. Bahkan baru-baru ini mengeluarkan ketentuan sidik jari dan foto diri bagi pengunjung asing yang datang ke Jepang," ujar Mirza.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007