Jakarta (ANTARA News) - Saat, si kuda besi listrik Ciliwung Blue Line memasuki Stasiun Angke, pandangan mata para calon penumpang sedikit aneh mengingat KRL itu merupakan barang baru bagi warga Jakarta yang berbeda dengan KRL lainnya yang sudah kusam dan dipenuhi coretan-coretan cat phylox. Sesekali calon penumpang yang tengah menunggu di pelataran stasiun itu, mencoba mendongakkan kepalanya untuk melihat ke seantero gerbong KRL tersebut dan mereka berbicara kepada rekannya, "kereta baru, nih yee". Pasalnya bukan apa-apa, empat gerbong KRL itu, terlihat masih bersih dan terkesan mewah sembari disertai hembusan udara segar yang ke luar dari air conditioner (AC) menabrak panasnya udara di Jakarta itu. Petugas yang berpakaian safari di atas KRL itu, berteriak "KRL Ciliwung, tiketnya Rp3.500" yang ditujukan kepada para calon penumpang yang masih takjub itu. Maklum, petugas itu harus sedikit berpromosi menawarkan angkutan baru mengingat masih sedikitnya masyarakat yang mengetahui trayek baru di ibukota tersebut, meski sudah ada spanduk di stasiun tersebut yang menyebutkan adanya Kereta Rel Listrik (KRL) Ciliwung Line. KRL Ciliwung Line merupakan salah satu sarana perhubungan untuk memecahkan permasalahan kemacetan di ibukota yang dalam beberapa pekan ini, menjadi pergunjingan masyarakat banyak serta menjadi konsumsi pemberitaan baik di media cetak maupun media elektronik. Pada 30 November 2007, KRL Ciliwung Line resmi diluncurkan yang langsung disaksikan oleh Menteri Perhubungan (Menhub) Jusman Syafii Djamal, Direktur Utama (Dirut) PT Kereta Api (Persero) Ronny Wahyudi, dan Sekretaris Daerah (Sekda) Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, Ritola Tasmaya. Kehadiran KRL itu juga merupakan kerjasama antara Pemprov DKI Jakarta dengan PT KA, untuk mengatasi permasalahan kemacetan dan KRL itu melayani perjalanan dari Stasiun Manggarai, Sudirman, Karet, Tanah Abang, Duri, Angke, Kampung Bandan, Kemayoran, Pasar Senen, Kramat Sentiong dan Jatinegara dengan jarak 27 kilometer. Rencananya akan ada dua rangkaian KRL yang dioperasikan dengan perjalanan berlawanan arah kemudian bertemu di Stasiun Manggarai. Jadwal operasionalnya sendiri, yakni, mulai jam 06.30 WIB, 07.30 WIB, 08.30 WIB dan 09.30 WIB, kemudian dilanjutkan pada pukul 15.30 WIB, 16.30 WIB, 17.30 WIB dan 18.30 WIB. KRL tersebut memiliki kapasitas 400 orang untuk sekali jalan dengan kondisi gerbong itu tidak berbeda jauh dengan bus Trans Jakarta karena dilengkapi dengan AC dan kursi plastik yang nyaman untuk diduduki. KRL itu sendiri merupakan buatan PT Industri Kereta Api (Inka) Madiun yang telah diperbaiki setelah sebelumnya merupakan KRL Bekasi Ekspres dan Depok Ekspres, hingga kesan baru dapat terasa. "KRL ini lebih bagus ketimbang KRL kelas AC yang melayani Jakarta-Bogor atau Jakarta-Bekasi," kata siswa kelas satu SMP 18 Jakpus, Muhammad Farhan (12), yang sengaja ingin merasakan perjalanan KRL dalam kota itu. Muhammad Farhan sengaja naik dari Stasiun Kramat Sentiong yang dekat dari rumahnya, dan langkah kakinya langsung menapaki tangga yang masih mengkilap itu saat pintu otomatis terbuka. Sesampainya di atas KRL, dirinya langsung disambut petugas yang meminta untuk memperlihatkan tiket perjalanan. Di atas gerbong itu, Farhan bukannya duduk dengan tenang melainkan berjalan-jalan untuk melihat kondisi setiap gerbong sembari berdecak kagum, karena saking bersihnya kondisi KRL itu dan jelas berbeda dengan KRL yang selama ini sering ditumpanginya. Kepalanya juga sesekali ditengokkan ke luar, untuk melihat suasana kiri kanan lintasan yang dipadati dengan bangunan liar. "Nyaman benar, naik KRL ini. Kagak kecewa juga harus bayar Rp3.500," ujarnya polos. KRL yang ditumpanginya itu, terus melaju ke Jatinegara, Manggarai, Sudirman, Karet, Tanah Abang, Duri, Angke, Kampung Bandan, Kemayoran, dan Pasar Senen. "Mana ya, banjir air pasang di Jakarta Utara," katanya saat melihat kawasan di Kampung Bandan yang dilalui oleh kereta api tersebut. Sesampainya di Stasiun Kramat Sentiong, kakinya menapaki kembali pelataran stasiun tempat pemberangkatan sebelumnya, sembari wajahnya terlihat puas karena sudah merasakan KRL dalam kota meski harus memotong uang jajannya. Demikian pula dengan warga Petamburan, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Suharto (79) yang sengaja naik KRL bersama dengan istrinya Sujuni (60), mengatakan, KRL Ciliwung Blue Line nyaman dan dapat mengatasi masalah kemacetan di Jakarta. "Kalau kondisi KRL ini terus dipertahankan, saya yakin akan banyak warga yang ingin naik KRL Ciliwung," katanya. Jalur lama Sementara itu, Kepala Humas PT KA (Persero) Daops I Jakarta Akhmad Sujadi mengatakan, keberadaan lintasan KA dalam kota itu, merupakan, sisa peninggalan zaman Belanda yang kemudian sempat dihidupkan kembali pada 1984-1987, namun lama tidak digunakan hingga akhirnya digunakan pada 2007 yang ditujukan untuk mengatasi kemacetan di Jakarta. "Yang menjadi problem, saat ini, yakni, di Stasiun Jatinegara, KRL tidak bisa memutar dan terpaksa harus langsir terlebih dahulu," katanya. Bahkan, kata dia, lintasan yang melintang sepanjang 27 kilometer itu memiliki jalur ganda (double track) hingga perjalanan KRL dapat berlawanan arah guna mengefektifkan mengangkut penumpang di Jakarta. Sementara itu, Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo mengatakan, dalam pengoperasian kereta lingkar dalam kota itu, harus diikuti pula dengan pembenahan infrastruktur. "Untuk revitalisasi kereta api memang perlu banyak hal yang dibenahi antara lain jalur ganda, pembebasan lajur kereta api dari bangunan liar," katanya. Ia juga menilai diperlukannya pemisahan antara pemberhentian kereta dalam kota dengan kereta antar kota. "Kereta itu bisa optimal kalau kereta antarkota berhenti di Manggarai," katanya Di samping itu, ia mengatakan bila kereta lingkar kota tersebut sudah beroperasi secara efektif, maka sejumlah moda transportasi di ibukota dapat terintegrasi dan memudahkan masyarakat untuk menggunakan transportasi umum. "Contohnya seperti di Dukuh Atas, pengguna TransJakarta bisa berpindah menggunakan kereta, demikian pula di Senen dan Manggarai," papar Fauzi. Ia menambahkan pihaknya yakin seiring dengan berfungsinya kereta lingkar dalam kota itu, maka penumpang yang diangkut akan bertambah dan mendorong warga berpindah dari kendaraan pribadi ke transportasi publik. Kurang sosialisasi Kendati, kondisi fisik KRL itu benar-benar ciamik, namun sosialisasi kehadiran KRL solusi kemacetan terhitung masih minim, yang terbukti dengan sedikitnya penumpang pada hari pertama operasi. Seperti, pada jadwal pemberangkatan pukul 15.30 WIB dari Manggarai, saat memasuki Stasiun Tanah Abang, jumlah penumpangnya kurang dari 20 orang. Demikian pula sampai berakhirnya perjalanan, jumlah penumpangnya tetap kurang dari 20 orang. Meski berhenti di sejumlah stasiun, penumpang yang naik dapat dihitung dengan jari. Bahkan dari pemantauan di Stasiun Tanah Abang, tidak tampak adanya antrian calon penumpang hingga memudahkan calon penumpang untuk mendapatkan tiket. Kondisi demikian berbeda dengan bus Trans Jakarta saat pertama kali diluncurkan, banyak calon penumpang yang antri ingin merasakan jenis angkutan massal tersebut terutama di kalangan karyawan dan pelajar. "Saya baru tahu ada KRL ini, pada Jumat (30/11) melalui tayangan berita dari salah satu televisi swasta, kemudian saya mengajak istri ke Stasiun Tanah Abang untuk mencoba KRL Ciliwung," kata Suharto. Ia mengaku selama ini dirinya belum pernah mendengar adanya perjalanan baru KA dalam kota. "Seharusnya sosialisasi itu dilakukan sejak jauh-jauh hari, agar mengundang masyarakat lainnya," ujarnya. Disamping itu, masalah lainnya yang menjadi penghambat operasional KRL Ciliwung Blue Line, yakni, masih banyaknya bangunan liar di sepanjang lintasan KA dalam kota tersebut. Bahkan berdasarkan catatan dari PT KA Daops I Jakarta, dari 27 kilometer sekitar 60 persennya sudah dipenuhi bangunan liar. Dampaknya dikhawatirkan akan menimbulkan masalah kerawanan perjalanan, yang bisa saja muncul aksi pelemparan batu atau mudah patahnya rel karena banyak pemilik bangunan liar yang membuang sampah sembarangan di lintasan KA. "Penertiban bangunan liar di sepanjang lintasan KRL memang harus dilakukan, demi memperlancar operasional KRL," kata Kahumas PT KA (Persero) Daops I Jakarta, Akhmad Sujadi. PT KA (Persero) Daops I Jakarta sendiri bekerjasama dengan pemerintah daerah setempat pada Kamis (29/11) atau satu hari menjelang peresmian pengoperasian KRL itu, melakukan penertiban sekitar seratus bangunan liar di sepanjang lintasan Senen sampai Kemayoran, Jakarta Pusat. Permasalahan lainnya yang harus dipikirkan dalam pengoperasian KRL itu, yakni, ketepatan waktu baik pemberangkatan maupun kedatangan, pasalnya seperti perjalanan dari Manggarai sampai ke Manggarai kembali yang seharusnya hanya satu jam, kenyataannya pada pertama kali operasi itu mencapai sekitar 1,5 jam. Soal penyediaan areal parkir untuk calon penumpang juga, harus dipikirkan agar penumpang benar-benar terlayani dengan baik. Kenyataannya seperti di Stasiun Tanah Abang, areal parkir motor tidak ada, hingga pemilik motor memarkirkan di atas trotoar yang penjaganya tidak lain preman setempat. "Bagaimana ini, nggak ada area parkir motor. Saya sendiri harus bayar Rp3 ribu ke tukang parkirnya, ini mah sama dengan memalak," kata salah seorang penumpang KRL Ciliwung Blue Line, Romauli. Saat ini, tinggal bagaimana kerjasama antara PT KA (Persero) Daops I Jakarta dengan Pemprov DKI Jakarta untuk memperbaiki segala kekurangan yang ada. Jika segala kekurangan bisa diatasi, maka tidak menutup kemungkinan akan banyak warga beralih menggunakan KRL ketimbang kendaraan pribadi, hingga kemacetan di Jakarta sedikit demi sedikit dapat teratasi. (*)

Oleh Oleh Riza Fahriza
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007