Jakarta (ANTARA News) - Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) mengungkapkan, industri hulu migas terancam mandek menyusul pemberlakuan Undang-undang No.17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan. Deputi Keuangan dan Pemasaran BP Migas Eddy Purwanto di Jakarta, Jumat, mengatakan UU itu tidak lagi memperpanjang pemberian fasilitas pembebasan bea masuk dan pajak dalam rangka impor (PDRI), sehingga kontraktor yang masih dalam tahap eksplorasi pun harus membayar pajak tersebut dalam jumlah besar. "Akibatnya, industri hulu migas terancam mengalami keterpurukan," katanya. Padahal, sambungnya, barang atau peralatan seperti rig pemboran yang diimpor tersebut nantinya akan diekspor kembali. Eddy memperkirakan pada 2008 kontraktor minimal harus membayar pajak eksplorasi Rp5,5 triliun. Ia mencontohkan, konsorsium Marathon, ENI, Anadarko, StatOil, Talisman, dan ConocoPhillips berencana membor 12 sumur terapung di laut dalam sekitar Kalimantan Timur. Sesuai UU baru, konsorsium tersebut terkena bea masuk, PDRI, dan pajak pertambahan nilai dalam negeri (PPN DN) hingga 211 juta dolar AS saat akan mendatangkan rig pemboran. "Besaran pajak itu setara 50 persen anggaran yang akan dialokasikan untuk sewa rig," katanya. Menurut dia, sesuai rencana konsorsium akan menanamkan investasi hingga 681 juta dolar AS dengan kontrak rig 420 juta dolar AS dan nilai kapital rig terapung 520 juta dolar AS. Kasus lain, lanjut Eddy, adalah kontraktor Easco East Sepanjang yang akan melakukan pemboran eksplorasi di Blok East Sepanjang di Jawa Timur. Awalnya, Easco mengalokasikan biaya pemboran hanya 40 juta dolar AS. Namun, dengan adanya UU baru itu, mereka harus mengeluarkan biaya tambahan hingga 30,1 juta dolar AS. "Artinya, pajak yang harus dibayar hampir setara dengan biaya pemborannya," katanya. Eddy mengungkapkan, dari kedua kasus itu saja negara berpotensi kehilangan investasi sebesar 721 juta dolar AS. Ia mengkhawatirkan, dengan konsisi tersebut, sampai akhir 2007, sejumlah investor akan membatalkan rencana pemboran eksplorasinya di Indonesia. Eddy juga khawatir penawaran wilayah kerja baru tidak akan menarik lagi bagi perusahaan migas multinasional karena mereka akan mencari sistem fiskal yang lebih baik di negara lain. "Kondisi ini sudah mencapai titik kritis dan perlu campur tangan Presiden untuk menyelamatkan industri hulu migas nasional," katanya.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007