Surabaya (ANTARA News) - Penasehat DPD Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) Jatim, Singky Soewadji, meminta masyarakat dan aparat penegak hukum agar tidak terpesona oleh sosok Roy Marten yang seolah-olah sudah berhenti mengonsumsi narkoba. "Roy Marten itu kan juga manusia dan sama dengan manusia yang lain. Justru pertanyaan saya, apakah seorang Roy Marten tidak bisa jadi bandar narkoba?," katanya kepada ANTARA di Surabaya, Rabu. Bintang film senior era tahun 1970-an, Roy Marten yang juga suami Anna Maria kembali ditangkap polisi karena terlibat "pesta" narkoba di sebuah hotel berbintang di Jalan Ngagel, Surabaya, Selasa (13/11). Padahal ia baru keluar dari penjara karena kasus yang sama. Roy Marten berada di Surabaya dalam rangka mengikuti kampanye anti-narkoba yang dilakukan Badan Narkotika Nasional (BNN) bersama Kapolri Jenderal Polisi Sutanto. Menurut Singky, kalau hanya satu atau dua tahun seorang pecandu narkoba berhenti mengonsumsi shabu-shabu dan sejenisnya, hal tersebut bukan jaminan bahwa seseorang itu tidak akan kembali lagi pada kebiasaannya. "Bagi pengguna narkoba itu berlaku istilah `satu tiket`, yakni bisa pergi tak bisa kembali. Artinya kalau sudah menjadi pemakai, sulit untuk bisa berhenti. Harus menjalani pengawasan yang sangat ketat karena sudah ketagihan. Jadi tidak semudah membalik tangan untuk berhenti. Itulah kejamnya narkoba," katanya. Mantan Sekretaris Umum DPD Granat Jatim itu mengemukakan dirinya tiga tahun pernah menjadi sekretaris Yayasan Mutiara Bangsa yang menampung para pengguna narkoba untuk dibina. Dari pengalaman itu diketahui seorang pecandu tidak mudah untuk berhenti. "Biasanya seorang pecandu yang mau berhenti itu akan tergoda kembali kalau bertemu dengan kawan-kawannya yang pernah sama-sama menggunakan atau tempat pertama kali ia mengonsumsi. Keinginan untuk mencoba kembali itu sangat kuat," katanya. Karena itu, katanya, sejak menjadi Sekum Granat Jatim ia sudah sudah sering `berteriak` agar para pengedar dan bandar itu tidak diberi ampun untuk hidup. "Mereka itu harus dihukum mati. Kalau hanya dipenjara, pasti dari dalam penjara mengedarkan lagi, apalagi kalau sudah keluar. Bahkan ada gurauan yang cukup menggelitik, kalau ditembak mati, para bandar itu masih mengedarkan lagi di akhirat," ujarnya. Menurut dia, kalau satu bandar yang mati ditembak, maka yang berduka hanya satu keluarga, namun apabila satu bandar saja dibiarkan hidup, jutaan orang yang menangis karena anggota keluarganya menjadi korban. "Ada istilah yang lebih kasar lagi, yaitu, kecoa itu walaupun ditaruh di kasur atau di hotel berbintang tujuh sekalipun, pasti akan kembali ke toilet. Demikian juga dengan para pengedar dan bandar, dimanapun pasti akan kembali menjadi `sampah` dan manyusahkan masyarakat," katanya. (*)

Copyright © ANTARA 2007