Jakarta (ANTARA News) - Upaya pengentasan aksi pembalakan liar hutan Indonesia tidak akan berlangsung secara serius karena semua pihak di semua tingkat sudah terlibat, kata Indro Cahyono, Direktur Sekretariat Kerjasama Pelestarian Hutan Indonesia (SKEPHI). "Mafia pencuri kayu bahkan sudah mengirim uang kepada tiap-tiap pasangan calon presiden dan wakil presiden. Mereka juga menopang dana hampir semua pasangan dalam pilkada," tuding Indro ketika berbicara dalam diskusi bertajuk "Hutan Kau Babat, Kau Kubebaskan" yang digelar jaringan Radio Ramako, di Jakarta, Sabtu. Menurut Indro, mafia pembalakan liar sudah merasuki semua tingkatan dan instansi, sehingga sulit rasanya bisa membayangkan para pelaku dibawa ke meja hijau dan dihukum. Data SKEPHI menunjukkan bahwa para pelaku pembalakan liar di hutan Indonesia hanya 0,1 persen saja kasusnya yang sampai ke tahap penuntutan di pengadilan, dan itu pun diputus bebas oleh majelis hakim. "Ini bukan soal hambatan aturan hukum, sampai-sampai kita sulit sekali menjerat para pelaku pembalakan liar. Tapi ini adalah soal political will apakah kita benar-benar ingin memberantas kejahatan ini atau tidak," ujar Indro. Belajar dari putusan bebas Adelin Lis, terdakwa pembalakan liar di Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara, baru-baru ini, lanjut Indro, terlihat bahwa hukum telah diciptakan sedemikian rupa sehingga ada dikotomi antara sanksi administratif dan sanksi hukum. Bagi Departemen Kehutanan, pembalakan liar adalah tindakan membalak di luar kawasan yang diberikan izin HPH atau HTI. Bila terbukti membalak di luar kawasan berizin, maka pelakunya kenakan sanksi administratif dan denda saja. "Sedangkan bagi aparat penegak hukum, aksi pembalakan di luar kawasan berizin harus dikenakan sanksi pidana, karena sudah merusak lingkungan dan membahayakan keselamatan orang banyak," kata dia. Indro mengkritik ketentuan hukum buat para pembalak liar yang masih longgar dan hanya diganjar denda atau sanksi administratif, padahal dampak kegiatan itu sangat membahayakan orang lain. "Seharusnya sanksi administratif pun ada batasannya, jangan tidak terbatas seperti yang ada sekarang," katanya. Khusus mengomentari putusan bebas Adelin Lis, Indro melihat putusan itu tak lebih dari bukti kuatnya mafia pembalakan liar yang sudah menguasai sistem peradilan di Tanah Air. "Adelin adalah gambaran karikatur kejahatan korporasi pencuri kayu, yang para pelakunya kebal dari jeratan hukum," ujar dia. Bahkan di Jawa, masih kata Indro, jaringan pelaku pembalakan liar berkekuatan untuk mengendalikan para jaksa, hakim, dan aparat penegak hukum. Mafia pembalakan liar hutan melindungi Adelin Lis, ungkap Indro, "Lihat saja, hakim kasus Adelin langsung naik pangkat setelah memberi putusan bebas, dan mereka pun dipindah ke luar kota. Mereka juga menolak diperiksa oleh Komisi Yudisial." Sementara itu Mulfachri Harahap, Wakil Ketua Komisi III DPR-RI, mengatakan bahwa multi-tafsir yang muncul di kasus pembalakan liar harus segera ditinjau oleh DPR. Sebagai pihak yang membuat undang-undang, DPR berkewajiban melihat celah hukum agar tidak menimbulkan tumpang tindih dan tafsir beragam. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007