Jakarta (ANTARA) - Amnesty International melaporkan eksekusi mati secara global pada tahun 2018 mengalami penurunan hingga 31 persen, dari 993 eksekusi di tahun 2017 menjadi 690 di tahun 2018.

Angka ini merupakan jumlah terendah dalam satu dekade terakhir. Penjatuhan vonis mati secara global juga mengalami penurunan menjadi 2.531 di tahun 2018 dari sebelumnya 2.591 di tahun 2017.

Negara-negara di dunia juga telah melakukan perubahan legislasi untuk meninggalkan hukuman mati di 2018.

Di awal  2018, Presiden Gambia mendeklarasikan moratorium eksekusi mati.

Di pertengahan tahun, Burkina Faso menghapuskan hukuman mati dari hukum pidana negara tersebut. Lalu di akhir tahun, Malaysia mengumumkan akan mereformasi undang-undang hukuman mati setelah sebelumnya melakukan moratorium eksekusi mati.

Pada waktu yang hampir bersamaan, Negara Bagian Washington, Amerika Serikat mengumumkan bahwa hukuman mati inkonstitusional.

Sementara dalam laporan global terbarunya, Amnesty International mencatat setidaknya terdapat 308 orang narapidana mati hingga akhir 2018 di Indonesia.

Sebanyak 48 orang divonis mati pada tahun 2018, 39 diantaranya untuk kejahatan narkoba – 15 di antaranya adalah warga negara asing; delapan pembunuhan dan satu terorisme.

Sebagai perbandingan, pada tahun sebelumnya 47 vonis mati baru dijatuhkan untuk terpidana di Indonesia, 33 vonis untuk kasus narkoba dan 14 untuk kasus pembunuhan.

Sepuluh di antaranya dikenakan pada warga negara asing. Ini berarti walaupun terdapat sedikit penurunan jumlah vonis mati dan juga adanya moratorium eksekusi, hukuman mati tetap dijatuhkan oleh sistem peradilan terutama karena tersedianya pasal-pasal hukuman mati di peraturan perundang-undangan.

Setidaknya terdapat 11 peraturan perundang-undangan yang mengatur ancaman hukuman mati di Indonesia, di antaranya: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), Undang – Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tentang Senjata Api, Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1959 tentang Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dalam hal memperberat Ancaman Hukum Mati terhadap Tindak Pidana yang Membahayakan Pelaksanaan Perlengkapan Sandang Pangan dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang Nomor 21 Tahun 1959 tentang Memperberat Ancaman Hukum Terhadap Tindak Pidana Ekonomi.

Hal ini menggarisbawahi pentingnya perubahan perundang-undangan, yang mana DPR dapat menjadi "champion"-nya

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia harus mengambil inisiatif untuk mengkaji segala peraturan perundang-undangan yang mengatur ancaman hukuman mati.

Hal itu diungkapkan Usman Hamid dalam diskusi saat peluncuran laporan hukuman dan eksekusi mati 2018 di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Saat ini, lanjut dia, semakin banyak negara lain di dunia yang meninggalkan bentuk penghukuman yang kejam dan tidak manusiawi tersebut, salah satu yang terdekat adalah Malaysia.

Sebagai badan legislatif kekuasaan, peran DPR sangat penting dalam menghapus hukuman mati guna memperkuat beberapa perkembangan positif di dunia, termasuk yang telah pemerintah lakukan di forum PBB.

"Pemerintah kembali “abstain” pada resolusi moratorium hukuman mati putaran ke-7 Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) pada Desember 2018 lalu. Keputusan ini konsisten dengan posisi dalam putaran UNGA empat tahun sebelumnya," ujar Usman Hamid.

Selain itu, sikap pemerintah Indonesia untuk melakukan moratorium eksekusi mati pada tahun 2017 dan 2018 juga patut diapresiasi.

Moratorium de facto tersebut, lanjut Usman Hamid, harus segera diformalkan dalam bentuk kebijakan negara, sesuatu yang hanya dapat dicapai dengan peran aktif DPR.

"Sebagai langkah awal perubahan perundang-undangan, DPR dapat memanggil Jaksa Agung serta Menteri Hukum dan HAM untuk mengkaji penerapan hukuman mati yang dalam praktiknya banyak terjadi masalah seperti unfair trial, termasuk penyiksaan hingga ketiadaan pendamping hukum tersangka," kata dia.

DPR, lanjut dia, juga perlu meminta pandangan Menteri Luar Negeri terkait kecenderungan global yang meninggalkan hukuman mati.

"Sebagai negara pihak Konvensi Anti Penyiksaan, DPR perlu memastikan konsistensi Indonesia dengan komitmen internasionalnya melalui penghapusan hukuman mati. Sebagai negara kunci di ASEAN, Indonesia perlu mengikuti Malaysia yang tahun lalu mengumumkan rencana penghapusan hukuman mati," kata Usman Hamid.

Sementara itu, Anggota Komisi I DPR RI Charles Honoris mengatakan perbaikan sistem hukum terutama penghapusan hukuman mati menjadi tantangan bagi DPR.

"Penghapusan hukuman mati masih menjadi pro dan kontra bagi fraksi DPR. Tidak banyak anggota DPR yang berani terbuka untuk menolak penggunaan hukuman mati di Indonesia," ujar Charles Honoris dalam diskusi saat peluncuran laporan Amnesti Internasional tentang hukuman dan eksekusi mati 2018 di Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan sulit bagi DPR untuk melakukan perubahan regulasi tentang hukuman mati di Indonesia meskipun lembaga tersebut memiliki kewenangan untuk menyiapkan produk undang-undang yang menghapus hukuman mati.

"Untuk menghapus hukuman mati kuncinya ada di political will pemerintah untuk membuat rencana jangka pendek maupun panjang terkait penghapusan hukuman mati," ujar Charles.

Dengan adanya "political will" maupun "blue print" dari pemerintah menjadi proses awal untuk menghapus penerapan hukuman mati di Indonesia.

Ia mengungkapkan hukuman mati adalah pembunuhan paling terencana dan tidak menimbulkan efek jera

"Kita lihat sendiri kasus di Indonesia. Sudah ada belasan terpidana kasus narkotika dihukum mati, tapi peredaran narkotika masih meningkat. Beberapa tahun terakhir polisi berhasil menggagalkan penyelundupan ribuan ton narkotika ke Indonesia," kata dia.

Sementara itu, Direktur LBH Masyarakat Ricky Gunawan mengatakan praktik eksekusi mati yang dilaksanakan di pemerintahan Joko Widodo menyumbang munculnya golongan putih pada saat Pilpres mendatang.

"Di era pemerintahan Joko Widodo, total sebanyak 18 orang dieksekusi mati. Praktik eksekusi mati tersebut menyumbang munculnya golongan putih," ujar dia.

Ia mengatakan pemerintah dalam dua tahun terakhir tidak lagi mengeksekusi para terpidana mati.

"Tindakan pemerintah itu adalah moratorium hukuman mati secara de facto. Yang saya inginkan pemerintah meningkatkan moratorium de facto ini menjadi lebih resmi yaitu moratorium de jure dalam sebuah kebijakan dengan menghapuskan hukuman mati," kata dia.

Kebijakan penghapusan hukuman mati itu dapat memulihkan kepercayaan masyarakat sipil terhadap Joko Widodo.

Sementara itu, Kepala Divisi Pembelaan HAM Kontras Arif Nur Fikri mempertanyakan narapidana kasus narkotika yang hanya dieksekusi mati.

"Kenapa hanya terpidana narkotika yang dieksekusi mati.Kalau kita lihat bagaimana mekanisme penegakan hukum. Bagaimana praktik dijatuhkannya hukuman mati itu banyak masalah dalam proses penuntutan, pembuatan dakwaan, proses peradilan sampai di Lapas terkait tahanan terpidana mati," kata Arif Nur Fikri.

Selain itu, hak-hak tersangka di Lapas sampai proses eksekusi hukuman mati itu tidak diberikan, salah satunya pendampingan psikolog.

Eksekusi mati yang dilakukan pemerintah tidak diimbangi dengan pendampingan yang layak bagi para terpidana mati dan keluarga mereka.

"Kita harus melihat bagaimana di belakang eksekusi mati, bagaimana kondisi keluarganya, serta dampak-dampak atas eksekusi mati itu," ujar Arif Nur Fikri.

Dengan demikian, ia meminta pemerintah harus membenahi proses penyidikan hingga peradilan serta pendampingan terhadap narapidana yang dijatuhi hukuman mati.

Tidak efektif

Usman Hamid mengatakan penjatuhan vonis mati pada warga negara asing juga dapat berpotensi menimbulkan masalah diplomatik, dari mulai sulitnya membebaskan warga negara Indonesia yang saat ini menghadapi tuntutan dan vonis hukuman mati, hingga tuduhan bahwa Indonesia menerapkan standar ganda.

Amnesty International juga mencatat setidaknya ada dua warga negara Indonesia di luar negeri yang dieksekusi mati pada tahun 2018.

Mereka adalah Muhammad Zaini Misrin dan Tuti Tursilawati. Keduanya dieksekusi mati oleh pemerintah Arab Saudi dan mendapat penolakan keras dari masyarakat sipil Indonesia, ujar Usman Hamid.

Menghapuskan hukuman mati, lanjut dia, bisa mempermudah upaya diplomasi Indonesia di forum internasional untuk menyelamatkan kurang lebih 188 warga negara Indonesia yang saat ini menjadi terpidana mati di luar negeri.

"Bagaimana Indonesia dapat meyakinkan negara lain untuk mengampuni warganya agar bebas dari jeratan hukuman mati di luar negeri jika masih memiliki peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar peradilan untuk mempraktikkan hukuman yang tidak manusiawi ini di dalam negerinya sendiri?," ujarnya.

Selain itu, Usman mengatakan hukuman mati bukan cara yang efektif untuk memberantas kejahatan narkoba.

Data vonis mati yang dijatuhkan pada tahun 2018 dalam laporan Amnesty International terbaru ini jelas memperlihatkan bahwa mayoritas hukuman mati tersebut dijatuhkan untuk terpidana mati kasus-kasus terkait narkoba.

"Namun sulit untuk membuktikan kebenaran klaim pemerintah Indonesia bahwa mengeksekusi mati terpidana perdagangan narkoba dapat memberantas kejahatan tersebut. Tidak ada bukti ilmiah yang meyakinkan yang menunjukkan bahwa hukuman mati adalah pencegah kejahatan yang lebih efektif daripada bentuk hukuman pidana lainnya," kata Usman Hamid.

Sebaliknya, data dari Badan Narkotika Nasional (BNN) yang diterima oleh Amnesty International menunjukkan bahwa jumlah kasus narkoba terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, bahkan ketika pemerintah telah mengambil langkah-langkah keras dengan mengeksekusi terpidana mati kasus narkoba maupun melakukan penggunaan kekerasan dalam kegiatan-kegiatan penanganan kasus-kasus tersebut.

Pada 2015, misalnya, Indonesia mengeksekusi 14 terpidana mati. Namun jumlah kasus narkoba terus meningkat di tahun yang sama yaitu mencapai 644 kasus. Lalu pada Juli 2016, Kejaksaan Agung kembali mengeksekusi 4 orang, semuanya kasus narkoba.

"Tidak lama berselang BNN merilis data 2016 yang lagi-lagi memperlihatkan kenaikan kasus narkoba menjadi 881 kasus. Meski BNN dan Kepolisian melakukan pendekatan tembak di tempat bagi terduga kasus narkoba, kasus narkoba mencapai 990 kasus di tahun 2017 dan 1.037 di tahun 2018," kata Usman.

Kepolisian dan BNN, sayangnya, terus melakukan tembak di tempat bagi orang yang diduga bandar narkoba. Data dari Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba (P4GN) di akhir tahun 2017 menunjukkan sebanyak 79 orang ditembak mati terkait kasus narkoba. Angka tersebut berbeda dengan hasil pemantauan Amnesty International. Organisasi ini menemukan setidaknya 99 orang ditembak mati dalam penindakan kasus narkoba di tahun 2017.

Secara terpisah, BNN menyatakan telah menembak sebanyak 15 orang yang diduga terlibat kasus narkoba pada 2017 dan 16 orang pada 2018. Tapi sekali lagi, hasil pemantauan Amnesty International menemukan setidaknya ada 23 orang ditembak mati oleh BNN di tahun 2017, dan jumlah yang sama kehilangan nyawanya karena ditembak oleh badan tersebut juga terjadi pada 2018.

Jika klaim pemerintah benar bahwa mengeksekusi mati orang yang terlibat narkoba akan bisa memberikan efek pencegahan kepada masyarakat, harusnya angka kasus narkoba sudah menurun dari tahun 2015.

Namun fakta menunjukkan sebaliknya, meningkatnya sangat signifikan seakan tak terbendung.

"Sekali lagi, eksekusi mati tidak memberi efek gentar kepada pengedar narkoba di Indonesia," tegas Usman Hamid.

Editor: Fardah Assegaf
Copyright © ANTARA 2019