Jakarta (ANTARA News) - Komisi VI DPR mendesak agar UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah segera direvisi untuk mengatasi penurunan penerimaan daerah penghasil migas dan sumber daya alam lainnya. "Ketimpangan ini menimbulkan kecemburuan dan kekecewaan kepada pemerintah pusat pada gilirannya muncul ancaman memisahkan diri dari NKRI. Ini bisa memunculkan benih-benih yang tidak sehat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara," kata Ketua Tim Kunker Komisi VI DPR Muhidin M. Said di Gedung DPR/MPR Jakarta, Senin. Penegasan itu disampaikan sebagai temuan tim kunker ke Propinsi Kalimantan Timur, pekan lalu. Dalam pertemuan dengan jajaran Pemda Propinsi Kaltim dan Pemkot Bontang terungkap kekecewaan daerah ini karena kecilnya dana yang dikucurkan pemerintah pusat. Banyak daerah penghasil migas yang menyumbang devisa besar tetapi dana yang dikembalikan ke daerah sangat kecil. Wakil Walikota Bontang Sahid Daroni menjelaskan, masalah Dana Alokasi Umum (DAU) menjadi tekad 13 kabupaten/kota termasuk Propinsi Kaltim untuk melakukan judicial review terhadap UU No.33 /2004. Apalagi patokan untuk menghitung DAU tidak ada kepastian. Di 13 kabupaten/kota ada yang tetap ada yang naik dan ada yang turun. "Bontang sebelumnya terima Rp75 miliar turun menjadi Rp48 miliar. Ini hitungan dasarnya apa sebenarnya. Suatu yang perlu dipertimbangkan bahwa Bontang ini memberi kontribusi kepada pusat sebesar Rp30 triliun, sedangkan nilai yang dikembalikan hanya Rp48 miliar atau hanya 0,15 persen. Ini perlu mendapat perhatian karena kalau terjadi sesuatu di kota Bontang yang menanggung adalah masyarakat seluruhnya," kata Sahid Daroni. Ketua tim kunker Muhidin Said menilai ketimpangan pengembalian dana ke daerah ini merupakan hal yang merisaukan sehingga perlu penataan lagi. Untuk itu pihaknya setuju jika UU No.33/2004 direvisi sehingga daerah penghasil devisa akan menerima bagiannya secara proporsional. Hal yang sama dikatakan Djoko Purwongemboro (FPG) dan Choirul Soleh Rasyid (FKB). Daerah penghasil devisa besar jangan dimatikan gara-gara devisanya dikuras ke pusat. "Sangat ironis, Kaltim penghasil gas yang cukup besar, tapi mengalami pemadaman listrik secara bergilir," kata Djoko. Soleh Rasyid menambahkan, bagi daerah penghasil migas perlu ada kebijakan khusus dalam pembagian hasilnya. Kalau ada ketimpangan pasti muncul ketidakikhlasan sehingga akan mengganggu bingkai-bingkai kebersamaan. "Saya setuju daerah penghasil ada rumusan khusus sehingga bagi hasilnya jelas dan proporsional," katanya. Anggota Tim Muhammad Tonas Fraksi Bintang Pelopor Demokrasi ((BPD) mengemukakan, Riau juga bernasib sama dengan Bontang. Karena itu, perlu judicial review terhadap UU No.33/2004 dengan harapan rumusan baru penghitungan DAU. Salah satu rumusnya dana bagi hasil migas itu adalah alat pengurang dari pendapatan asli daerah (PAD). Padahal sesungguhnya seperti memasukkan kue, masuk kantong kanan, keluar dari kantong kiri. "Jadi hal seperti ini sudah tidak tepat diterapkan untuk saat yang akan datang. Karena itu saya mendorong Pemerintah Kota Bontang dan daerah lain di Kaltim bersama para anggota Dewan untuk mengamandemen UU 33/2004 ," katanya. Untuk amandemen, kata Tonas, syaratnya 13 anggota DPR sudah bisa mengajukan usulan judicial review. Persoalannya, banyak anggota DPR yang kurang begitu paham mengenai rincian rumus itu. Karena itu, perlu dilakukan sosialisasi bagaimana cara mengitung yang baik bagi daerah penghasil dan bukan daerah penghasil. Dia melihat, dalam pembagian hasil ini nampak sekali ketidakadilannya sehingga harus segera diakhiri. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007