Oleh Munawar Saman Makyanie dan Budi Setiawanto Jakarta (ANTARA News) - Kunjungan kenegaraan Presiden Otoritas Nasional Palestina Mahmoud Ridha Abbas (72) di Indonesia 21-23 Oktober 2007 mengingatkan kembali kunjungan serupa mantan pemimpin negeri itu Yasser Arafat (almarhum) 16-17 Agustus 2000 silam. Kedatangan kedua tokoh dalam kurun waktu tujuh tahun itu masih sama yakni mendapatkan dukungan dunia, terutama dari Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, bagi perwujudan negara Palestina yang berdaulat. "Terima kasih kepada Yang Mulia (Presiden Abdurrahman Wahid) dan juga kepada Indonesia sebagai negara muslim terbesar di dunia atas dukungannya kepada rakyat Palestina," kata Arafat dalam jumpa pers bersama dengan Gus Dur seusai pertemuan di Istana Negara, Jakarta, 16 Agustus 2000. Tujuh tahun kemudian, dalam jumpa pers bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di tempat yang sama pada 22 Oktober 2007, Abbas menyambut baik rencana Indonesia menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) dalam waktu dekat untuk mendukung perjuangan rakyat Palestina. "Ini menunjukkan besarnya perhatian dan merupakan dukungan riil yang diharapkan oleh bangsa kami," katanya. Sekitar 15 tahun lalu, pada penyelenggaraan KTT Nonblok di Jakarta tahun 1992, Arafat menjadi bintang dan berhasil menggalang solidaritas negara-negara Nonblok mendukung perjuangan rakyat Palestina. Antara Arafat dan Abbas dikenal sebagai sahabat lama. Abbas bersama Arafat dan kawan-kawan seperjuangannya mendirikan Fatah pada 1957, dan kemudian mendirikan PLO (Organisasi Pembebasan Palestina) pada 26 Juni 1964 untuk memperjuangkan Negara Kedaulatan Palestina, yang hingga kini masih dalam angan-angan. Dalam temu wicara di Hotel Sangri La, Jakarta, sesaat sebelum meninggalkan Jakarta pada Selasa (23/10), Presiden Abbas menyatakan optimistimismenya tentang Negara Palestina Berdaulat itu. Baik Arafat maupun Abbas ketika datang ke Indonesia disambut hangat oleh Kepala Negara Indonesia. Begitu hangat, Arafat bahkan sempat mencium kening Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri yang berdiri di sebelah Presiden Abdurrahman Wahid pada 16 Agustus 2000. Kalaulah ada sedikit perbedaan, Arafat menunjukkan mimik wajah yang berapi-api dan kerap memelototkan matanya ketika berbicara menandakan keseriusannya sedangkan Abbas kerap mengumbar senyum dan menunjukkan kewibawaannya. Profil Dari situs wikipedia, Mahmoud Abbas alias Abu Mazen lahir di Safet 26 Maret 1935). Ia menjadi Presiden Otoritas Nasional Palestina(PNA: Palestinian National Authority) sejak 15 Januari 2005. Abbas lahir di Palestina semasa negara itu masih di bawah jajahan Inggris, 13 tahun sebelum Israel memproklamirkan kemerdekaannya di tanah Palestina pada 14 Mei 1948 atas bantuan Inggris dan AS. Abbas lahir dan dibesarkan di Safet. Setamat sekolah dasar di kota itu, ia hijrah ke Suriah setelah perang tahun 1948. Ia melanjutkan sekolah menengah dan perguruan tinggi di kota Damaskus. Di kamp pengungsian Suriah, Abbas tetap bersekolah dan meraih gelar sarjana muda di Universitas Damaskus sebelum melanjutkan kuliah di Universitas Kairo, Mesir, di bidang hukum. Setelah itu, ia melanjutkan program doktoral bidang Studi Ketimuran di Moskow, Rusia, dan meraih gelar doktor (Ph.D) pada 1982 dengan disertasi berjudul "Hubungan Rahasia antara Kaum Nazi dengan Pemimpin Gerakan Zionis Yahudi". Disertasi itu kemudian dibukukan dan diterbitkan dalam bahasa Arab oleh penerbit Dar Ibnu Rushd di Amman, Yordania, tak lama setelah ia menjabat perdana menteri pada 2003. Dalam buku itu ia membantah keras adanya Holocaust, pembunuhan besar-besaran terhadap kaum Yahudi oleh Nazi Jerman. "Jumlah kematian kaum Yahudi dalam Holocaust itu hanya dibesar-besarkan oleh Zionis Yahudi untuk kepentingan gerakan mereka," tulis Abbas. Kendati demikian, sejak bergabung dalam gerakan perlawanan terhadap Israel pada 1950-an, Abu Mazen telah menunjukkan sikap moderatnya. Di usia remaja itu, Abbas telah bergabung dengan tokoh-tokoh pejuang yang menggunakan Qatar sebagai basis gerakan. Ia mendirikan lembaga Palestina pertama pada tahun 1954 di Suriah. Inilah awal mula karier politiknya. Awal tahun 1960-an, ia menjadi pegawai Departemen Pendidikan di Qatar dan bersahabat dengan Yasser Arafat (1929-2004). Ia kemudian menjadi anggota Majelis Nasional Palestina pada tahun 1968 dan memimpin perundingan tidak resmi dengan Israel pada tahun 1977. Sejak tahun 1983, ia menjadi anggota komite eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) serta memimpin komite nasional dan internasional yang berkonsentrasi pada urusan organisasi non-pemerintah. Ia memulai kembali perundingan rahasia dengan pejabat Israel pada tahun 1989 lewat perantara Belanda. Ia tetap menjalankan aktivitas perundingan di balik pintu dengan Israel ketika dan pasca-Konferensi Madrid tahun 1991. Pasca Konferensi Madrid, ia dipercaya menjabat sebagai koordinator urusan perundingan. Ia meletakkan rencana dan pengarahan pada tim perunding Palestina. Saat Pemimpin Otoritas Palestina Yasser Arafat membentuk lembaga perdana menteri, ia ditunjuk untuk menjabatnya tetapi mundur empat bulan kemudian (Juni 2003-September 2003). Ia terpilih secara aklamasi sebagai Ketua PLO sepeninggal Yasser Arafat (11 November 2004). Ia terpilih menjadi Presiden Palestina pada pemilu 9 Januari 2005 dengan 62,3 persen suara. Kemenangan Hamas pada Pemilu Legislatif 25 Januari 2006 menghantarkan Ismail Haniya untuk posisi Perdana Menteri Palestina. Hamas yang semenjak awal perjuangannya menolak mengakui negara Israel membuat kesulitan posisinya, sehingga Abbas berniat menyelenggarakan sebuah referendum pada 31 Juli 2006 untuk menentukan perlu tidaknya Palestina mengakui negara Israel. Masih Berjuang Selain terancam konflik internal di negerinya, Abbas masih berjuang di forum internasional bagi masa depan bangsa Palestina. Menanggapi rencana penyelenggaraan konferensi internasional mengenai Palestina di Annapolis, Maryland, AS pada November mendatang, Abbas mengatakan, pertemuan itu akan dihadiri negara tim kuartet yakni empat negara dari delapan negara industri (G-8), anggota tetap Dewan Keamanan PBB, serta negara-negara Arab, di samping Indonesia, Malaysia dan Turki. Agenda konferensi itu mencakup enam masalah pokok yaitu Negara Kedaulatan Palestina, status final Kota Jerusalem sebagai ibukota Palestina, perbatasan, pengungsi Palestina, permukiman Yahudi, keamanan, dan pembagian sumber air. "Oleh karena itu kami selalu galang komunikasi dan kerja sama serta musyawarah antara pemerintah Palestina dan Indonesia. Kami membentuk tim atau komite bersama antara kedua Menteri Luar Negeri yang akan melakukan tindak lanjut, dan mengikuti perkembangan ke depan," katanya. Selain itu, katanya, pihaknya juga sedang melakukan komunikasi dan dialog yang intensif dengan Israel, yang diharapkan akan dapat membentuk suatu dokumen yang bisa diterima oleh kedua belah pihak maupun masyarakat internasional. Dokumen-dokumen itu kemudian akan dijadikan sandaran untuk konferensi-konferensi yang akan digelar. "Berikutnya, akan diadakan negosiasi antara Palestina dengan Israel dan diharapkan sebelum 2008 akan terjadi penyelesaian riil yang kami harapkan," kata Abbas. Pernyataan tersebut disampaikan Abbas menanggapi keinginan Indonesia sebagaimana disampaikan Presiden Yudhoyono bahwa Indonesia bersama dengan negara-negara di Afrika Selatan dan Asia lainnya akan menyelenggarakan konferensi untuk mendukung perjuangan di Palestina. "Dengan harapan komunitas Asia Afrika juga memiliki tanggung jawab untuk ikut memberikan bantuan bagi Palestina agar sejalan dengan konferensi-konferensi yang lain, bahwa Palestina akhirnya nanti menjadi negara yang berdaulat dan merdeka," kata Presiden Yudhoyono. Hasil yang dicapai dari kunjungan Abbas di Indonesia seperti penandatanganan sejumlah nota kesepahaman(MoU), termasuk MoU pertukaran berita Kantor Berita ANTARA dengan Kantor Berita Palestina, WAFA, menjadi proses tersendiri bagi kemerdekaan Palestina.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007