Jakarta (ANTARA) - Pengajar Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) Surabaya dan ketua tim mobil listrik BLITS, Muhammad Nur Yuniarto, mengatakan regulasi mobil ramah lingkungan yang tengah disiapkan pemerintah harus mendukung pengembangan industri otomotif dalam negeri.

Pemerintah saat ini tengah mematangkan regulasi mobil listrik nasional pada draft Peraturan Presiden tentang kendaraan ramah lingkungan yang menurut rencana akan rampung pada Maret atau April 2019.

Payung hukum tersebut dibutuhkan karena sejumlah Agen Pemegang Merk (APM) di Indonesia bersiap meluncurkan mobil listrik pada 2020, misalnya Nissan. BMW bahkan sudah menjual mobil listrik di Tanah Air, sedangkan Toyota dan Mitsubishi memberikan sejumlah unit mobil terelektrifikasi sebagai bahan studi pemerintah.

Dikatakan Nur, Indonesia selaku tuan rumah semestinya bukan menjadi target pasar semata, melainkan harus bisa masuk ke tataran riset hingga pembuatan pabrik untuk merakit hingga memproduksi.

"Kepastian dari sisi pemerintah itu harus bisa menjamin tumbuhnya industri mobil listrik nasional," katanya, saat dihubungi melalui sambungan telepon di Jakarta, Jumat (15/3).

"Pemerintah hanya perlu keberpihakan kepada industri nasional, yang kedua bahwa ada garansi pasar yang meminta kendaraan listrik," katanya.

Ia mengatakan, tantangan terberat produsen mobil listrik nasional adalah keterbatasan dana investasi serta minimnya tenaga kerja berkualitas yang berminat mengembangkan mobil listrik di Indonesia.

Nur mengatakan, pasar mobil listrik nasional sangat menjanjikan bila ditinjau dari aspek kepentingan pemerintah, misalnya untuk penghematan belanja bahan bakar minyak (BBM).

"Indonesia saat ini kan pakai BBM, itu pun impor. Seharusnya ada strategi di mana bahan bakar tidak impor sehingga penghematan yang sudah didapat bisa dijadikan insentif bagi pengguna kendaraan listrik," ujarnya.

Pria yang juga memproduksi mobil listrik keluaran ITS tipe hybrid series Kasuari itu beranggapan, infrastruktur juga menjadi persyaratan penting agar konsumennya tidak repot dalam mengisi bahan bakar.

Pertanyaan konsumen mobil listrik yang kerap muncul dari berbagai forum diskusi, kata Nur, di antaranya berkaitan dengan kemudahan isi ulang bahan bakar di jalan hingga efektivitas tenaga listrik dalam membantu perjalanan mereka.

"Misalnya kalau kita berkendara di kota itu kan paling sehari 100km dari rumah ke kantor dan balik lagi ke rumah. Kalau kita punya satu kendaraan listrik, setelah diisi ulang sampai (menempuh) 200km, apakah bisa sampai lagi ke rumah?" ujarnya.

Guna meraih target 20 persen mobil listrik nasional pada 2025, Nur berpendapat agar pemerintah dapat mengintensifkan program perpindahan pengguna kendaraan konvensional kepada listrik setelah sarana dan prasarananya terpenuhi.

Kendati demikian, tantangan lainnya dalam membangun ekosistem mobil listrik adalah menciptakan pasarnya sehingga produk itu bisa berkembang di Tanah Air.

"Karena kan belum ada kepastian mengenai apakah ada pasarnya atau tidak. Regulasinya seperti apa. Itu kan belum ada kepastian," ujarnya.

(Penulis: Peserta Susdape XIX/Andi Firdaus)



Baca juga: Gerbang menuju era kendaraan listrik

Baca juga: Tiga kendaraan inovatif ITS jelajahi Indonesia

Baca juga: Mobil listrik BLITS akan diujicoba touring Sabang-Merauke
Pewarta:
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2019