Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah anggota Komisi DPR meminta pemerintah tegas dan hati-hati menyikapi aksi kekerasan yang dilakukan Junta militer Myanmar, karena aksi kekerasan itu tidak semata masalah dalam negeri Myanmar melainkan juga terkait kepentingan internasional terhadap sumber gas dan minyak di sana. "Indonesia, seharusnya tidak sekadar melihat pertikaian tersebut sebagai aksi kekerasan semata tetapi lebih jauh dari itu, karena di sana terdapat sumber daya alam berupa gas dan minyak," kata anggota Komisi I dari PDI-Perjuangan Sutradara Ginting dalam rapat kerja Menkopolhukam Widodo AS dan jajarannya dengan Komisi I di Jakarta, Senin. Sutradara mengatakan, adanya sumber daya alam itu mau tidak mau sejumlah negara seperti China dan negara barat berkepentingan terhadap situasi di Myanmar. Mungkin saja, apa yang terjadi telah menjadi skenario negara Barat untuk menguasai jalur perdagangan di Teluk Benggala yang biasa digunakan untuk mengangkut minyak dan gas. "Jadi, dalam menyikapi masalah Myanmar, pemerintah harus benar-benar hati-hati. Karena apa yang terjadi tidak semata masalah penegakan HAM dan demokratisasi. Kalau benar, jalur perdagangan dibuka di Teluk Benggala maka itu berpengaruh terhadap jalur di Selat Malaka. Ini tentunya berpengaruh terhadap kepentingan Indonesia secara geopolitik dan geostrategis," tuturnya. Karena itu, Pemerintah Indonesia jangan sekadar bersikap tegas pelanggaran HAM dan demokratis yang terjadi di Myanmar tetapi juga harus waspada terhadap berbagai kepentingan global yang bermain dalam aksi kekerasan tersebut, tambah Sutradara. Hal senada diungkapkan anggota Komisi I dari Partai Golkar Yudi Chrisnandy yang mengatakan, sebagai negara ketiga yang paling demokratis maka sudah sewajarnya jika pemerintah bersikap tegas terhadap aksi pelanggaran HAM dan demokratis di Myanmar. "Tetapi lebih dari itu pemerintah juga harus waspada terhadap apa yang terjadi di Myanmar terkait kepentingan global atas kejadian itu. Saatnya , pemerintah menunjukkan sikap yang tegas dan hati-hati sehingga tepat bagi kepentingan nasional," ujarnya menambahkan. Ungkapan yang sama dilontarkan anggota Komisi I dari PBB Yusron Ihza Mahendra yang mengatakan, Indonesia harus tetap mengedepankan kepetingan nasionalnya dalam menyikapi aksi kekerasan di Myanmar. "Selama ini, diplomasi luar negeri kita cenderung merugikan kepentingan nasional kita. Seperti halnya dalam kerja sama pertahanan dengan Singapura. Jadi, dalam menyikapi insiden di Myanmar, apalagi jika Cina membuat jalur langsung dari Teluk Benggala ke negaranya," tuturnya. Yusron mengatakan, Myanmar memiliki 0,3 persen cadangan gas dunia dan cadangan itu menjadi perebutan banyak negara seperti China dan Malaysia. "Jika China berhasil mengalihkan jalur perdagangan dari Selat Malaka ke Teluk Benggala, maka mau tidak mau berpengaruh terhadap kepentingan strategis Indonesia," ujarnya. Jadi, tambah Yusron, Pemerintah Indonesia harus benar-benar tepat dalam menyikapi konflik di Myanmar karena apa yang terjadi tidak semata-mata masalah konflik antara pro demokratis, junta militer dan pemerintah tetapi lebih pada kepentingan global. Menanggapi itu, Menkopolhukam Widodo AS mengatakan, pemerintah Indonesia menyadari adanya kepentingan global dalam aksi kekerasan di Myanmar beberapa waktu lalu. "Memang benar ada kepentingan global dalam aksi kekerasan di Myanmar terkait sumber daya dan energi karena kita tahu perkembangan lingkungan strategis yang berkenaan dengan itu, tidak terlepas pula dari kepentingan negara-negara besar," ujarnya. Meski begitu, tambah Widodo, Indonesia melihat perlu untuk menjamin standar internasional terhadap penegakan HAM dan demokratis. "Untuk itu Indonesia dan Myanmar akan terus menjaga hubungan historis ada yang untuk selesikan konflik yang terjadi dan mempertimbangkan adanya kepentingan global dalam konflik tersebut," ujarnya.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007