Jakarta (ANTARA News) - Hampir seluruh fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (FTZ) menjadi Undang-Undang (UU) tidak memenuhi syarat pembuatannya. Dalam rapat pandangan fraksi terhadap Rancangan UU tentang penetapan Perpu tersebut menjadi UU di Komisi VI DPR, Jakarta, Rabu, hanya fraksi Partai Demokrat yang setuju untuk langsung disahkan menjadi UU. Delapan fraksi lainnya berpendapat Perpu hanya dapat diterbitkan ketika keadaan darurat, sedangkan kondisi itu tidak terpenuhi. Selain itu, disepakati akan ada pembahasan lebih lanjut mengenai beberapa substansi Perpu. "Itu (Perpu) cuma mengambil kewenangan DPR oleh Presiden dengan mengalihkan penetapan kawasan perdagangan bebas dari UU menjadi hanya Peraturan Pemerintah (PP)," kata Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (FPDIP) Hasto Kristiyanto membacakan pandangan fraksinya. PDIP menilai penetapan Batam, Bintan dan Karimun menjadi FTZ harus dilakukan dengan UU akan ada kepastian hukum dan tidak mudah berubah status jika terjadi pergantian rezim kekuasaan. Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) menilai alasan pengajuan Perpu tersebut yang menurut pemerintah karena merosotnya investasi dan dikhawatirkan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi tidak tepat. "PAN belum melihat alasan kepentingan dalam Perpu ini," ujar Mardiana Indraswati anggota Komisi VI dari fraksi PAN. Yang dimaksud keadaan mendesak menurut PAN adalah keadaan yang dapat mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, kewibawaan pemerintah, serta ancaman sabotase ekonomi. Ketua komisi VI yang juga dari fraksi PAN, Didiek J. Rachbini mengatakan, sesuai tata tertib pembahasan Perpu akan dilakukan seperti pembahasan UU. Setiap fraksi dapat mengirimkan anggotanya untuk masuk dalam panitia kerja (panja). "Alasan menerima dan menolak bisa dimasukkan dalam Daftar Investaris Masalah (DIM). Posisi menerima atau menolak bisa diberikan per pasal," ujar Didiek. Sebelumnya, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan penundaan pembentukan kawasan perdagangan bebas bisa mempengaruhi investasi yang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi angka kemiskinan serta pengangguran. "Untuk genjot investasi dalam waktu mendesak dalam kondisi persaingan tinggi, pemerintah merasa penting untuk memberi status FTZ dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)sesegera mungkin," katanya. Oleh karena itu, lanjut Mendag, pemerintah mengambil inisiatif untuk mempercepat proses penetapan FTZ dan KEK yang semula perlu dengan UU menjadi hanya dengan Perpu. "Karena UU yang sudah ada cukup mengatur tentang FTZ, yang diatur PP hanya batas wilayah," ujarnya. Mendag memaparkan turunnya realisasi investasi dari 8,9 miliar dolar AS pada 2005 menjadi 5,9 miliar dolar AS pada 2006 menjadi salah satu faktor mendesak adanya Perpu tersebut. "Dibanding negara lain, Indonesia jauh tertinggal. Thailand pada 2006 realisasi investasi asingnya 9 miliar dolar AS, Singapura 192 miliar dolar AS," tambahnya. Nilai ekspor dari Batam mengalami penurunan sejak 2002-2006 menjadi 5 miliar dolar AS akibat tidak adanya kepastian hukum investasi dan karena relokasi industri ke Singapura dan Malaysia. "Selama 2004-2006 tercatat 26 perusahaan melakukan relokasi artinya investasi hilang sebesar 91 juta dolar AS dan 23ribu orang di-PHK," ungkapnya. Sementara itu, negara lain telah lebih dulu menggunakan FTZ dan KEK sebagai daya tarik investasi asing. Bahkan Malaysia semakin agresif mengembangkan kawasan ekonomi khususnya. "China dengan Shenzen sejak 1992, Vietnam bekerjasama dengan Singapura sejak 1994 dalam pembangunan KEK. Dalam setahun terakhir ada percepatan pembangunan KEK di Malaysia utara dan selatan," tambahnya. Dalam rapat yang juga dihadiri oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia Andi Matalata itu disepakati rapat berikutnya pada 19 September 2007 untuk mendengarkan pendapat pemerintah atas pandangan fraksi-fraksi.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007