Jakarta (ANTARA News) - Kehidupan berdemokrasi di Indonesia setelah era reformasi di mana seluruh masyarakat mempunyai kebebasan mengeluarkan sikap dan pendapat, tetap harus mempertimbangkan dan menjunjung etika, sehingga tidak terjebak pada asal menyerang, terlebih bila dilandasi oleh kepentingan politik yang kuat. "Tidak sedikit masyarakat yang kadangkala tidak berpikir tentang etika, sehingga akhirnya kepentingan pribadinya yang mengedepan. Kalau etika politik tidak tertata dengan baik,maka dikhawatirkan akan muncul budaya seenaknya sendiri, dan ini berbahaya untuk generasi mendatang," kata Mayjen TNI Glenny Kairupan, analis yang saat ini juga staf pengajar di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) di Jakarta, kemarin. Ia mengemukakan hal itu berkaitan dengan konflik yang terjadi antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan mantan Wakil Ketua DPR, Zaenal Ma'arif, yang kini imbasnya mulai "memanas". Sebelumnya, Zaenal Ma'arif menuduh SBY telah menikah sebelum masuk ke Akabri di Magelang. Atas tudingan itu, Presiden Yudhoyono --dalam kapasitasnya sebagai warga negara--kemudian datang ke Polda Metro Jaya untuk melaporkan kasus pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Zaenal Ma'arif, mantan Wakil Ketua DPR yang baru saja direcall. Pekan lalu, di Nusa Dua Bali, Presiden Yudhoyono mengatakan akan menuntut secara hukum Zaenal Ma'arif --yang baru saja mengalami pergantian antar waktu (PAW)nya sebagai anggota DPR disetujui Presiden--karena telah dianggap memfitnah dan mencemarkan nama baik Presiden dan keluarganya. Presiden menyatakan bahwa berita bohong atau fitnah yang disampaikan Zaenal Ma'arif itu sudah sangat keterlaluan karena selain tidak benar juga merusak kehormatan, nama baik, dan harga dirinya. Menurut Glenny Kairupan, dalam masa transisi demokrasi saat ini --setelah reformasi berjalan hampir 10 tahun--mestinya etika politik yang dapat diteladani publik, dilakukan oleh elit politik, dan justru bukannya memberikan contoh yang tidak etis. Ia mengatakan, mestinya elit politik dapat menahan diri, dan tidak mengumbar tuduhan yang justru menguras energi bangsa, karena masalah yang dituduhkan adalah masalah di ruang pribadi seseorang, terlebih Kepala Negara. "Janganlah ikut-ikutan demokrasi Barat sepenuhnya, karena demokrasi yang ada di Indonesia memang secara kultural dan tingkat pendidikan berbeda dengan masyarakat Barat," katanya. Ia memberi rujukan bahwa secara kultural, majemuknya budaya yang ada tidak bisa dipaksakan harus merujuk pada budaya Barat, sementara ada fakta lainnya bahwa ada tingkat pendidikan yang berbeda antara Indonesia dengan negara-negara di Barat, sehingga dua faktor dimaksud punya pengaruh signifikan. "Kalau etika politik dapat tertata dengan baik, saya yakin pada waktunya, 'impian-impian' menuju kemiripan dengan demokrasi Barat, mungkin bisa saja dicapai, namun butuh pembelajaran dan waktu secara bersama dari semua elemen dan anak bangsa ini," katanya. Menurut dia, negara Barat seperti Amerika Serikat (AS) dan Jerman saja, perlu ratusan tahun membangun untuk memapankan demokrasi yang dianutnya, dan semua itu membutuhkan masa konflik "berdarah-darah", termasuk perang saudara. "Tentu, dengan referensi sejarah semacam itu, bangsa Indonesia tidak harus melalui fase ratusan tahun dan dengan konflik tidak sehat itu, sehingga saat inilah perlu dibangun etika politik itu," kata mantan Danrem 073/Makutaratama, Salatiga itu. Khusus mengenai tudingan yang dilontarkan kepada SBY itu, Glenny Kairupan, yang pernah satu kamar dengan SBY saat aktif di divisi korps taruna Akabri --semacam Senat Mahasiswa--secara pribadi tidak memercayai tuduhan itu.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007