Jakarta (ANTARA News) - Pilkada serentak pada 27 Juni 2018 merupakan momen yang penting bukan saja buat rakyat dalam berdemokrasi, tapi juga penting buat sejumlah lembaga survei, termasuk Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA. Terutama, dalam kontek pertaruhan kredibilitas dan record akademis  yang harus dipertanggungjawabkan kepada publik, antara lain, melalui publikasi hasil quick count (hitung cepat) yang akurat khususnya di 10 provinsi.

Direktur Eksekutif Citra Komunikasi LSI Denny JA, Toto Izul Fatah kepada pers di Jakarta, Jumat menyampaikan hal itu menanggapi publikasi hasil quick count sejumlah lembaga survei dengan aneka kontroversinya mengingat KPUD di sejumlah daerah belum mengumumkan hasilnya secara resmi.

Toto menegaskan, terlalu berisiko jika sebuah kerja ilmiah seperti quick count dibuat asal-asalan, apalagi tergantung pesanan. Sebab, bukan saja masa depan hidup mati lembaga yang harus dipertarungkan, tapi juga tanggungjawab akademisnya kepada publik. Paling tidak, dari lebih 200 kali LSI Denny JA melakukan quick count, belum pernah sekalipun meleset. Bahkan, ada yang sampai selisih 0,0 persen hasilnya dengan KPUD, yakni di Sumbawa Barat pada 2012 lalu.

Ia menyebutkan,  quick count ke 10 propinsi yang dimaksud adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selasan, Nusa Tengara Barat (NTB), Maluku, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan dan Sumatera Utara.

Adapun presentasi kemenangan dan tingkat partisipasinya adalah sebagai berikut: Pertama, Jawa Barat (Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum dengan 32,98%, Golput 30,86%), Kedua, Jawa Tengah (Ganjar Pranowo-Taj Yasin dengan 58,26%, Golput 35,47%),  Ketiga, Jawa Timur (Khofifah-Emil Elestianto Dardak dengan 54,29%, Golput 34,49%), Keempat, Sulawesi Selatan (Nurdin Abdullah-Andi Sudirman dengan 42,92%, Golput 27,41%), Kelima, NTB (Zulkieflimansyah-Siti Rohmi Djaillah dengan 30,84%, Golput 24,15%).

Berikutnya, Keenam, Maluku (Murad Ismail-Barnabas Orno dengan 40,00%, Golput 25,27%), Ketujuh, Kalbar (Sutarmadji-Ria Norsan dengan 56,9%, Golput 17,41%), Kedelapan, Kaltim (Isran Noor- Hadi Mulyadi dengan 31,30%, Golput 40,28%), Kesembilan, Sumsel (Herman Deru-Mawardi Yahya dengan 35,28%, Golput 30,17%) dan Kesepuluh, Sumatera Utara (Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah dengan 57,12%, Golput 34,65%).

Menurut Toto, kesepuluh provinsi yang dimaksud tadi, presentasi kemenangannya diumumkan setelah data seluruhnya masuk hingga 100 persen. Secara umum, perolehan suara masing-masing pasangan calon, tak ada yang mengagetkan jika dibandingkan dengan, rata-rata, dua kali survei yang dilakukan sebelumnya di propinsi tersebut. Kecuali, untuk wilayah-wilayah tertentu yang persaingannya memang cukup ketat seperti Jawa Barat, Jawa Timur dan Sumatera Utara.

"Secara umum, potensi kemenangan itu sudah terpotret dua sampai sebulan sebelumnya. Memang terjadi dinamika yang ketat dalam H-1 bulan sampai H-2 minggu. Tentu, dalam sisa waktu itu selalu terjadi migrasi suara, tergantung kecerdasan masing-masing pasangan dan timnya untuk memanfaatkan peluang waktu tersisa. Terutama, dalam wilayah wilayah yang masih tinggi soft suporter-nya," katanya.

Toto menegaskan, jika merujuk pada data survei, sekali lagi, siapa yang potensial menang dan kalah itu sudah bisa diprediksi. Soal terjadinya kasus kenaikan dan penurunan suara masing-masing calon pasti ada sebab dan alasannya yang logis seperti kasus Jawa Barat.

"Biasanya, hasil survey berbeda dengan hasil quick count karena dua factor. Pertama, terjadi money politic. Kedua, jika ada tsunami politic seperti terkena kasus hukum dengan ditangkap KPK, isu perselingkuhan, serangan negative campaign terhadap personal figure dan lain-lain. Namun, semua itu akan sangat tergantung kepada seberapa publik tahu dan yakin terhadap isu tersebut," demikian Toto Izul Fatah.

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018