Depok (ANTARA News) - Aksi separatisme yang belakangan ini di Indonesia cenderung menguat, seperti di Aceh, Maluku dan Papua, tidak bisa dilepaskan dari menguatnya peran Partai Demokrat di Amerika Serikat (AS), kata Direktur Kajian Politik, Center for Indonesian National Policy Studies (CINAPS), Guspiabri Sumowigeno. "Sebagai negara adidaya tunggal yang memiliki kepentingan yang membentang dalam ruang global, perubahan konstalasi politik di AS akan membawa dampak yang berdimensi global pula," ujarnya di Depok, Minggu. Menguatnya separatisme dimulai dari pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS) yang mempermalukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Ambon, pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua dan dipakainya atribut GAM sebagai atribut partai lokal di Aceh. Untuk mengantisipasi perubahan politik di AS, menurut Guspi, pemerintah perlu segera mempercepat peningkatan kesejahteraan rakyat di Papua, Aceh dan Maluku. Pemerintah, lanjut dia, juga perlu melakukan dua langkah untuk mengantisipasi. Pertama ialah memperketat aliran dana untuk LSM di bidang hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi di Jakarta, Papua, Aceh dan Maluku guna mencegah mereka digunakan untuk kepentingan asing, seperti Solidamor --yang menjadi agen dari berbagai kepentingan asing untuk kampanye pelepasan Timtim. "Untuk itu perlu ada audit yang ketat dan kalau perlu menugaskan KPK untuk ikut memantau," tegasnya. Langkah kedua, kata Guspi, ialah melobi China untuk pada waktunya jika diperlukan, agar melakukan veto terhadap setiap upaya yang mempertanyakan kembali integrasi Papua ke dalam RI melaui Pepera 1963 di forum Dewan Keamanan PBB sebagai ganti pengakuan Satu China dan dimasukkannya Tibet sebagai wilayah RRC. Menurut Guspi, semua kekuatan politik AS, pada semua masa, mendukung upaya membangun hegemoni AS di segala penjuru dunia. Pasca- Perang Dingin, partai Demokrat selalu menempatkan HAM, demokratisasi dan lingkungan hidup sebagai isu sentral, sementara PBB serta berbagai organisasi internasional ditambah LSM sebagai instrumen dalam politik luar negeri AS. Ia mengatakan, pendekatan ini cenderung berbeda dengan partai Republik, yang lebih suka pada pengerahan kekuatan militer AS sebagai instrumen, disamping membenarkan sikap unilateral dalam politik luar negerinya. Pada masa Presiden Bush, kata dia, isu separatisme di Indonesia tidak terlalu menarik perhatian AS, karena AS lebih memusatkan perhatian kepada isu penangkalan terorisme yang mengancam AS. Dalam konteks tersebut, Indonesia, salah satu negeri yang dipandang sebagai "pemasok teroris", perlu dijaga dan diperkuat, agar dapat berkonsentrasi untuk mengalahkan terorisme itu sendiri, sehingga AS di bawah partai Republik tak memberi angin pada kekuatan separatisme. Prioritas partai Demokrat mungkin akan berbeda, katanya. Guspi merasa khawatir bila segelintir kaum separatis di Indonesia ternyata telah mendapat pesanan dari pihak-pihak tertentu di luar negeri untuk mulai bergerak, dengan tujuan bahwa pada waktunya, pemerintah AS yang dikuasai kubu Demokrat dengan mengajak negara-negara sekutunya, organisasi internasional dan LSM akan ikut mendorong kegiatan separatisme dengan tema HAM dan demokratisasi, persis seperti kasus Timor-Timur. "Dari derajat bahayanya, Papua adalah wilayah yang paling mudah dirancang pihak asing untuk dilepaskan dari NKRI karena berbagai alasan seperti letaknya yang paling timur, klaim mengenai perbedaan ras, dan belum mantapnya integrasi masyarakat Papua ke dalam masyarakat Indonesia," jelasnya. Ia mengatakan ide OPM dan GAM yang menawarkan referendum untuk memisahkan diri dari RI, seolah merupakan usul damai, tanpa kekerasan dan sejenis dengan nilai-nilai yang dikembangkan partai Demokrat AS. Dikatakannya, bila benar itu skenario Demokrat, Indonesia memang bukan tempat yang nyaman buat AS. Dengan Partai Demokrat yang dominan, hubungan AS dan kaum nasionalis sekuler, termasuk TNI, akan menurun. Kelompok nasionalis sekuler belum melupakan peran partai Demokrat AS, yang terlalu mencolok dalam proses Amandemen UUD 45 dan lepasnya Timtim. "Belum lagi soal HAM masa lalu yang biasanya dihembuskan oleh partai Demokrat AS, yang akan membuat TNI terpojok. Situasi ini berbeda dengan yang dihadapi Pemerintah Bush, yang berasal dari partai Republik; AS lebih banyak diprotes oleh kelompok Islam," demikian Guspi. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007