Jakarta (ANTARA News) - Indonesia Coruption Watch menilai Dinas Pendidikan melakukan pembiaran proses pungutan dalam penerimaan siwa baru (PSB) yang terbukti dengan tidak adanya panduan dari pemerintah pusat (Depdiknas) dan menyerahkan prosesnya ke sekolah. "Panduan yang dibuat oleh dinas pendidikan isinya beragam. Ada yang melarang sekolah melakukan pungutan, tetapi ada juga yang memperbolehkan," kata anggota komisi monitoring pelayanan publik Indonesia Coruption Watch (ICW), Ade Irawan, di Kantor ICW Jakarta, Kamis. Ade menjelaskan waktu pelaksanaan PSB setiap daerah berbeda-beda, begitu juga metode yang digunakan. Ada yang menggunakan test seperti test kemampuan dan bakat, tapi ada yang cukup dengan persyaratan adminstratif. "Tidak ada sosialisasi informasi yang cukup dari sekolah atau dinas mengenai penerimaan siswa baru kepada orang tua calon murid baru," ujarnya. ICW dan LSM yang bergerak di bidang yang sama menemukan buruknya sosialisasi PSB, persyaratan administratif cenderung mengada-ada, biaya yang dibebankan kepada orang tua calon murid baru sangat mahal dan banyak yang tidak memiliki kaitan dengan kepentingan belajar mengajar, serta adanya jual beli kursi sekolah, katanya. Pada tataran sosialisasi yang buruk terlihat dari tidak adanya sosialisasi mengenai mekanisme maupun persyaratan dalam proses PSB, baik oleh sekolah maupun dinas pendidikan, waktu pelaksanaan PSB yang tidak jelas, tidak ada penjelasan mengenai daya tampung sekolah dengan sekolah cenderung menerima sebanyak-banyaknya, serta tidak jelasnya kriteria penilaian calon siswa. Sementara pada hambatan administrasi, persyaratan PSB, yang tujuan awalnya untuk mensiasati tingginya persaingan digunakan sekolah untuk memeras dan menarik dana. Sekolah ada yang mensyaratkan ijazah TK sebagai syarat masuk SD, ada juga sekolah yang memprioritaskan lulusan sekolah tertentu atau kelompok sosial tertentu dan ada sekolah yang meminta akte kelahiran dengan surat kenal lahir tidak berlaku. Pada hambatan biaya, tidak ada penjelasan mengenai dana-dana yang diterima sekolah, tidak ada penjelasan mengenai program-program yang akan dilaksanakan sekolah, proses penentuan jenis dan jumlah biaya sepihak hanya sekolah, sedangkan orang tua hanya bertugas menawar, banyak biaya yang dipungut oleh sekolah tidak jelas penggunaannya, dan banyak biaya yang dipungut di luar kepentingan pendidikan seperti untuk membuat kolam ikan. Ade menyebutkan biaya yang paling banyak dipungut di antaranya biaya seragam (batik, olahraga, dan keagamaan), formulir pendaftaran, iuran komite, iuran bangunan, pembelian buku atau lembar kerja siswa. Bahkan banyak biaya yang tidak jelas, seperti iuran membuat kolam ikan, pagar, psikotes, dan mushola," katanya. Akibatnya, lanjut Ade, menjadikan biaya sekolah menjadi sangat mahal, kelompok miskin tidak mampu mengakses pelayanan pendidikan yang merupakan hak mereka, dan semakin memperluas jurang antara pendidikan untuk kelompok miskin dan kaya. Oleh karena itu, ICW bersama dengan lembaga terkait akan melakukan pertemuan dengan penentu kebijakan Depdikanas, DPR/DPRD, serta mempertimbangkan mengugat pemerintah karena telah membiaran. "Seharusnya pungutan itu dilakukan setelah ditentukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (APBS). Karena rapat APBS belum dilakukan, dikhawatirkan akan terjadi pungutan-pungutan lainnya," katanya. Setidaknya ada 131 daftar sekolah yang dilaporkan orang tua murid atau orang tua calon murid baru yang diterima ICW dan lembaga terkait, antara lain Auditan, Bako Sumbar, Fakta Tangerang, Formasi Sumba, Gebrak Brebes, Sanksi Borneo, Suara Parangpuan, dan YLKI. "Kita juga akan melakukan terapi kejut terhadap sekolah di beberapa daerah, bagi yang datanya sudah terpenuhi dan melaporkan ke mabes polri," kata Selamet, Koordinator program hak-hak ekonomi sosial dan budaya Suara Hak Asasi Manusia di Indonesia (SHMI). Selamet menambahkan ke depan penerimaan siswa baru harus terdapat aturan dan sosialisasi yang jelas, sehingga tidak ada celah bagi sekolah melakukan pungutan liar. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007