Jakarta (ANTARA News) - Batasan jabatan Presiden dan Wakil Presiden selama dua periode yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum digugat ke Mahkamah Konstitusi.

Tiga pemohon pengujian UU Pemilu ini terdiri pemohon I (Perkumpulan Rakyat Proletar untuk Konstitusi (PERAK) yang  diwakili Abda Khair Mufti selaku Ketua), pemohon II (Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (FSPS) yang diwakili oleh Agus Humaedi Abdillah selaku Ketua Umum) dan Muhammad Hafidz (Pegawai Swasta) sebagai Pemohon III.

Para Pemohon mengajukan pengujian Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu, yang menyatakan: “Persyaratan menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden adalah: (n) belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama. Pendaftaran bakal Pasangan Calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 226 dilengkapi persyaratan sebagai berikut : (i) surat pernyataan belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama”.

Dalam permohonannya, alasan para pemohon mengggugat aturan tersebut karena tidak dapat dicalonkannya kembali Wakil Presiden Petahana Jusuf Kalla untuk mendampingi calon Presiden Joko Widodo pada Pemilu 2019, karena dianggap telah dua kali menjabat Wakil Presiden, akan menimbulkan kerugian bagi anggota Pemohon I dan Pemohon II, serta Pemohon III.

"Belum ada lagi sosok pasangan calon pemimpin yang memiliki komitmen dan kerja nyata dalam penciptaan lapangan kerja berkelanjutan untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya, akibat dari berlakunya norma Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilu," demikian bunyi alasan pemohon.

Untuk itu meminta majelis hakim Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya.

"Menyatakan frasa 'Presiden atau Wakil Presiden' dalam Pasal 169 huruf n Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum  bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Presiden dan Wakil Presiden," kata kuasa hukum pemohon.

Pemohon juga meminta majelis hakim menyatakan frasa “Presiden atau Wakil Presiden” dalam Pasal 227 huruf i UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai Presiden dan Wakil Presiden.

Menyatakan frasa "selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama" dalam Pasal 169 huruf n dan Pasal 227 huruf i UU Pemilihan Umum bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai tidak berturut-turut, katanya.

Pewarta: Joko Susilo
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018